Selasa, 05 Februari 2013



بسم الله الرحمن الرحيم

Oleh: K.H. Drs. Yakhsyallah Mansur, M.A.

لَقَدْ جَاءَكُمْ رَسُولٌ مِنْ أَنْفُسِكُمْ عَزِيزٌ عَلَيْهِ مَا عَنِتُّمْ حَرِيصٌ عَلَيْكُمْ بِالْمُؤْمِنِينَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ (١٢٨) فَإِنْ تَوَلَّوْا فَقُلْ حَسْبِيَ اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۖ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ ۖ وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ (١٢٩)/  التوبة ]٩[ : ١٢٨-١٢٩.


(Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mumin. (128) Jika mereka berpaling (dari keimanan), maka katakanlah: "Cukuplah Allah bagiku; tidak ada Tuhan selain Dia. Hanya kepada-Nya aku bertawakkal dan Dia adalah Tuhan yang memiliki ´Arsy yang agung". (129) – Q.S. At-Taubah [9]: 128-129).

Menurut Ubay bin Ka’ab, kedua ayat penutup Surat Al-Bara’ah adalah wahyu yang paling akhir diturunkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Pada ayat pertama, Allah Subhanahu Wa Ta’ala menjelaskan anugerah-Nya yang telah diturunkan kepada manusia yaitu dengan mengutus seorang Rasul yaitu Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang berasal dari diri mereka sendiri.

Para ahli tafsir berbeda pendapat tentang pengertian kata: أَنْفُسِكُمْ (dirimu sendiri). Menurut jumhur ahli tafsir yang dimaksud dengan dirimu sendiri adalah bangsa Arab, al-Zayyad menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan dirimu sendiri adalah umat manusia, sebab Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam diutus bukan kepada bangsa Arab saja.

Kedua penafsiran dapat kita terima karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memang bangsa Arab namun beliau diutus menjadi rahmat bagi seluruh alam, bukan Arab saja. Oleh karena itu, sejak awal dakwah beliau, banyak orang non Arab yang menyambut seruan beliau menyatakan diri masuk Islam. Seperti Bilal dari Ethiopia yang berkulit hitam, Shuhaib dari Romawi yang berkulit putih dan Salman dari Persia yang berkulit kuning.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengutus Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang berasal dari bangsa Arab dan dari jenis manusia ini karena objek dakwah dan yang akan beliau pimpin adalah manusia, sehingga beliau bisa memahami karakter umat yang dipimpinnya. 

Apalagi beliau tinggal di tengah-tengah mereka sejak lahir sehingga mereka dapat mengetahui perkembangan pribadi beliau yang lebih mendalam. Hal ini mengisyaratkan bahwa pimpinan itu sebaiknya berasal dari lingkungan umat yang dipimpin itu sendiri. Atau seandainya dari luar, harus memahami kondisi umat tersebut dengan baik.

Selanjutnya Allah Subhanahu Wa Ta’ala menerangkan bagaimana sikap dan perilaku Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang diutus Allah Subhanahu Wa Ta’ala dari kalangan mereka sendiri.

1.    Merasa berat apa yang mereka susahkan

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam merasakan sangat berat apabila umatnya ditimpa kesusahan. Siang dan malam yang beliau pikirkan hanyalah nasib umatnya. Berat baginya kalau umatnya ini miskin atau tertinggal dari umat yang lain. Berat baginya kalau umatnya sengsara di dunia dan di akhirat. Sampai pun nyawanya akan bercerai dari badannya, perasaan ini juga yang memenuhi pikiran beliau ketika akan meninggal dunia.

Menurut Bukhari-Muslim, beliau berpesan:
الصَّلاَةُ الصَّلاَةُ وَمَا مَلَكَتْ يَمِيْنُكَ، كَرَّرَ ذَلِكَ مِرَارًا
(Peliharalah shalat, peliharalah shalat, dan perhatikanlah budak-budakmu. Beliau mengucapkan pesan ini berkali-kali. – H.R. Bukhari Muslim).

Beliau selalu berusaha meringankan beban umatnya dan tidak mau diistimewakan diantara umatnya. Al-Zarqani dalam Syarh al-Mawahib meriwayatkan bahwa pada suatu ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam sedang dalam perjalanan bersama sahabatnya. Setelah waktu makan tiba, para sahabat bermaksud hendak menyembelih kambing yang akan dimakan bersama.

Seorang sahabat berkata, “Baiklah aku yang memasak.” Tiba-tiba Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Biarkan aku yang mencari kayu bakarnya.” Para sahabat berkata, “Ya Rasulullah biar kita saja yang bekerja, cukup sudah tenaga kita.” Beliau lalu bersabda, “Aku sudah tahu bahwa tenagamu cukup untuk itu, tetapi aku benci kalau diistimewakan melebihi kamu semua. Sesungguhnya Allah benci melihat hamba-Nya diberi keistimewaan tersendiri melebihi teman-temannya.”

2.    Sangat ingin akan kebaikan umatnya

Beliau sangat ingin dan berharap agar umatnya mendapat kebaikan. Perhatiannya siang dan malam hanyalah bagaimana supaya umatnya menjadi baik. Bagaimana supaya umatnya maju, bagaimana supaya umatnya mendapat petunjuk sehingga dapat selamat di dunia dan di akhirat. Tidak ada satu jalan pun yang dapat ditempuh asal membawa kebaikan umatnya, pasti beliau melaluinya. Beliau bersabda:

مَا بِقَى شَيْئٌ يُقَرِّبُ مِنَ الْجَنَّةِ وَيُبَاعِدُ مِنَ النَّارِ إِلاَّ قَدْ بُيِّنَ لَكُمْ (رواه الطبرانى)
(Tidak tersisa sesuatu pun yang mendekatkan ke surga dan menjauhkan dari neraka kecuali telah dijelaskan semuanya kepadamu. – H.R. Thabrani)

Di waktu wajah beliau terluka dalam Perang Uhud, gigi serinya pecah ada yang berkata, “Alangkah baiknya tuan berdoa kepada Allah agar musuh itu dibinasakan saja seluruhnya.” Beliau bersabda, “Aku ini diutus bukan sebagai pengutuk tetapi aku diutus sebagai pengajak kebaikan dan membawa rahmat. Ya Allah, ampunilah mereka, sebab mereka belum mengetahui.”

3.    Sangat belas kasih dan sayang

Pada ayat ini (Q.S. At-Taubah [9]: 128), Allah menyebut sikap Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dengan sifat-Nya sendiri yaitu rauf dan rahim.

Rauf adalah belas kasihan khusus kepada yang lemah, miskin, melarat, sakit, gagal, anak yatim, para janda, dan sebagainya. Rahim lebih umum dari sifat rauf. Kasih sayang yang meliputi dan merata kepada siapa saja, kepada yang miskin dan kepada yang kaya, kepada yang gagal dan kepada yang berhasil, kepada yang masih punya orang tua dan kepada anak yatim.

Ketika beliau sedang shalat berjamaah dan didengarnya tangis seorang bayi, beliau persingkat shalatnya agar ibunya yang ikut shalat di belakangnya tidak gelisah dan risau hatinya. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam selalu mendengarkan dan memperhatikan semua pengaduan walaupun ia seorang hamba sahaya, orang tua, janda, atau orang miskin. 

Beliau selalu berhenti kalau ada yang menghentikannya, dijabat tangan setiap orang yang bertemu dengannya dan tangannya tidak dilepaskan sebelum orang itu melepaskannya. Beliau selalu meneliti dan memperhatikan kondisi sahabat-sahabatnya. Dijenguknya yang sakit, dilawatnya yang meninggal, didengarnya baik-baik kesulitan mereka dan dirasakan bersama kebahagiaan dan penderitaan mereka.

Pada ayat selanjutnya (Q.S. At-Taubah [9]: 129), Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengingatkan, walaupun Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memiliki sikap-sikap yang sangat baik seperti di atas, namun masih ada orang yang berpaling dan tidak mau mengikuti ajarannya. Menghadapi orang-orang yang demikian, Allah Subhanahu Wa Ta’ala memerintahkan agar beliau tetap tabah dan mengembalikan semua kepada-Nya.

Demikianlah sikap-sikap Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dalam memimpin umatnya yang perlu diteladani oleh setiap muslim, terutama para ‘umara yang memimpin umat Islam sesudahnya.

Abu Dawud meriwayatkan dari Abu Darda bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:

مَنْ قَالَ حِيْنَ يُصْبِحُ وَحِيْنَ يَمْسِى حَسْبِيَ اللهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ هُوَ عَلَيْهِ تَوَكَّلْتُ وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيْمِ سَبْعَ مَرَّاتٍ كَفَاهُ اللهُ مِمَّا أَهَمَّهُ مِنْ أَمْرِ الدُّنْيَا وَالْأَخِرَةِ (رواه أبو داود)

(Barangsiapa yang membaca HASBIYALLAHU LAA ILAHA ILLA HUWA ‘ALAIHI TAWAKALTU, WA HUWA RABBUL ‘ARSYIL ‘ADZIM pada pagi dan petang tujuh kali, Allah akan mencukupkan atasnya apa yang membuatnya susah dari urusan dunia dan akhirat. – H.R. Abu Dawud)

Bacaan sangat baik diamalkan oleh setiap muslim terutama para ‘umara sehingga mereka tetap tenang menghadapi problematika yang muncul di tengah-tengah makmumnya.

Selanjutnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam mengungkapkan bahwa para ‘umara adalah pengembala sebagaimana sabdanya:

فاللأمير الذى على الناس راعٍ وهو مسئول عن رعيته / متفق عليه.

(Amir yang memimpin manusia adalah pengembala dan akan diminta pertanggungjawaban atas gembalaannya. – H.R. Muttafaq ‘Alaih)

Secara lahiriyah pekerjaan penggembala tampak tidak bergengsi, namun jika dihayati menggembala ternak mengandung nilai kepemimpinan yang tinggi.

Pertama, penggembala merasa ternak yang digembalakan adalah bukan miliknya sendiri tetapi milik tuannya maka dia pasti akan diminta pertanggungjawaban oleh pemilik ternak tersebut.

Kedua, penggembala akan menyediakan dan mencarikan tempat gembalaan yang subur sehingga ternaknya terpenuhi kebutuhan makannya.

Ketiga, penggembala akan mengawasi agar ternaknya selamat dari gangguan dan tidak tersesat serta terpisah dari kelompoknya. Ternak yang tersesat dari kelompoknya akan terlunta-lunta dan mudah diterkam oleh binatang buas.

Keempat, penggembala akan mengarahkan ternaknya ke tempat gembalaan yang bukan larangan sehingga ternaknya dapat menikmati rumput yang dimakan dengan tenang.

Kelima, penggembala akan memperlakukan gembalaannya secara adil sehingga gembalaannya akan terpenuhi hak-haknya secara proporsional.

Keenam, penggembala akan melindungi gembalaannya dari berbagai hal yang membahayakan seperti wabah penyakit, serangan dari binatang liar dan berbagai serangan lain dari luar.

Wallahu A’lam bis Shawwab

Mi’raj News Agency (MINA)



0 komentar:

Posting Komentar

  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube