Minggu, 20 September 2015

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
UPAYA MENGEMBALIKAN KEPEMIMPINAN DUNIA DENGAN SYARI’AT
Oleh: Imaamul Muslimin
KH. Yakhsyallah Mansur
Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
وَأَنْ لَّيْسَ لِلْإِنسَانِ إِلَّا مَا سَعَىٰ. (النجم [٥٣]: ٣٩)
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (Q.S. An-Najm [53]: 39)
Kata سَعَىٰ pada mulanya digunakan dalam arti berjalan dengan cepat walau belum sampai pada tingkat berlari. Arti ini berkembang sehingga dia diartikan juga dengan upaya sungguh-sungguh.
Melalui ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengingatkan bahwa sesuai dengan sifat keadilan-Nya, hasil pekerjaan manusia itu akan didapat sekedar usaha yang dilakukan. Apabila dia rajin dan sungguh-sungguh, akan mendapat banyak tetapi apabila malas, akan mendapat sedikit bahkan tidak mendapat sama sekali. Apabila hasilnya seperti ini maka dia tidak dapat menyalahkan orang lain.
Dalam perspektif dakwah Islam hal ini dapat kita lihat pada masa kemajuan umat Islam. Tidak kurang dari seribu tahun, umat Islam telah dapat mencapai puncak kemajuan yang sangat tinggi, terutama pada masa sahabat dan Khulafaur Rasyidin Al Mahdiyyin. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Akan datang suatu masa kepada manusia yang ketika mereka berperang, mereka ditanya, “Adakah sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam di antara kalian?” Mereka menjawab, “Ya.” Merekapun mendapat kemenangan. Mereka kemudian berperang dan ditanya, “Adakah di antara kalian sahabat dari sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam?” Mereka menjawab, “Ya.” Merekapun mendapat kemenangan.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Masa Khulafaur Rasyidin Al Mahdiyyin hanya berlangsung 30 tahun, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam:
الْخِلَافَةُ بَعْدِيْ ثَلَاثُوْنَ سَنَةً (الترمذي)
“Khilafah sesudahku berlangsung 30 tahun.” (H.R. At-Tirmidzi)
Meski demikian, kaum Muslimin pada masa Utsman bin Affan Radhiyallahu Anhu telah menyebar ke seluruh penjuru termasuk ke Cina.
Keberhasilan para Sahabat tersebut merupakan realisasi janji Allah Subhanahu Wa Ta’ala dalam firman-Nya:
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَىٰ لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّن بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِي لَا يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا ۚ وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ. (النور [٢٤]: ٥٥)
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan) mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” (Q.S. An-Nur [24]: 55)
Imam Syafi’i mengatakan, “Sebagian ahli tafsir menyebutkan bahwa para Sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam berangan-angan untuk mengalahkan penduduk Makkah (yang saat itu masih kafir). Maka Allah Subhanahu Wa Ta’ala menurunkan ayat ini yang merupakan sumpah Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk menjadikan orang yang beriman dan beramal shalih sebagai khalifah di muka bumi yang akan mengatur dunia dengan syariat-Nya.” An-Nahhas menjelaskan bahwa sumpah tersebut telah direalisasikan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan Fathu Makkah dan berbondong-bondongnya manusia memeluk Islam.
Al-Imam As-Sa’di mengatakan, “Janji Allah dalam ayat ini akan senantiasa berlaku sampai hari Kiamat selama umat Islam menegakkan iman dan amal shalih. Diraihnya apa yang telah dijanjikan Allah adalah sebuah kepastian. Kemenangan orang kafir dan munafik pada sebagian masa dan berkuasanya mereka atas umat Islam, tidak lain disebabkan oleh pelanggaran umat Islam dalam iman dan amal shalih.”
Oleh karena itu apabila umat Islam saat ini ingin kembali berjaya memimpin dunia dengan syariat Islam maka syaratnya adalah memantapkan iman dan amal shalih sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dan para Sahabat serta generasi sesudahnya.
Iman dan Amal Shalih Para Shahabat dan Generasi Sesudahnya
Iman dan amal shalih para shahabat dan generasi sesudahnya sehingga mereka dapat meraih puncak kemajuan tercermin pada sikap mereka, antara lain:
1.      Ketha’atan dan Kecintaan kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam

Sikap mereka mencintai dan mengikuti Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam sangat mengagumkan. Imam Bukhari meriwayatkan bahwa ketika Urwah bin Mas’ud menemui Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dalam perjanjian Hudaibiyah dan melihat perlakuan para Shahabat kepada beliau. Ketika beliau berwudlu, mereka memperebutkan air bekas wudlunya, ketika beliau membuang ludah, mereka memperebutkan ludahnya, dan ketika helai rambut beliau jatuh, mereka mengambilnya. Ketika Urwah kembali ke Makkah, dia menceritakan hal itu kepada kaumnya dan berkata, “Kaum apa itu? Demi Tuhan, aku telah diutus ke sejumlah penguasa. Aku telah diutus kepada kaisar, kisra dan raja Najasyi. Demi Tuhan, Aku tidak pernah melihat seorang penguasa yang dihormati sedemikian rupa oleh pengikutnya seperti penghormatan yang diberikan para pengikut Muhammad kepada Muhammad. Demi Tuhan, jika beliau membuang dahak, pasti dahak itu jatuh ke telapak tangan salah seorang di antara mereka lalu dilumurkan dahak itu ke wajah dan kulitnya. Jika beliau berwudlu, mereka memperebutkan air bekas wudlunya. Jika beliau berbicara, mereka diam menyimaknya. Dan mereka tidak pernah menatap beliau dengan tajam karena hormat kepada beliau.

Kecintaan ini pula yang tampak di perang Uhud. Ketika para Shahabat melihat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam terluka, wajahnya penuh darah, para Shahabat segera merapat melindungi beliau. Ali bin Abi Thalib memegang tangan beliau, Thalhah mengangkat beliau hingga dapat berdiri. Malik bin Sinan menghisap darah yang ada di muka beliau. Abu Ubaidah bin Jarrah mencabut ujung besi yang menembus pipi beliau hingga gigi taringnya tanggal. Lalu mencabut ujung besi di pipi sebelahnya hingga gigi taring yang lainnya juga tanggal. Abu Dujanah menjadikan dirinya sebagai tameng bagi beliau sehingga punggungnya menjadi sasaran, penuh anak panah.

Ketika pasukan musuh terus merangsek maju, sepuluh Shahabat segera melindungi beliau hingga semuanya terbunuh, Thalhah bin Ubaidillah kemudian datang untuk melindungi beliau. Abu Bakar menggambarkan pengorbanan Thalhah sebagai berikut, “Aku adalah orang yang mula-mula mendapatkan Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam di tengah kekacauan perang Uhud. Maka beliau berkata kepadaku dan Abu Ubaidah bin Jarrah, “Tolonglah saudaramu itu (Thalhah), lalu kami menengoknya dan ternyata sekujur tubuhnya terdapat lebih tujuh puluh luka berupa tancapan anak panah, tusukan tombak dan sobekan pedang dan ternyata anak jarinya terputus maka kami segera merawatnya dengan baik.”

2.      Rela Mengorbankan Segalanya Untuk Islam

Hal ini tampak dalam peristiwa hijrah ke Madinah. Ali bin Abi Thalib tidur di kasur Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam pada malam beliau hijrah ke Madinah. Ini berarti sejak awal dia rela mengorbankan nyawanya demi beliau.

Suatu hari rombongan kafir Quraisy, di antaranya Utbah bin Rabiah melintasi rumah Jahsy yang akan hijrah ke Madinah. Utbah melihat rumah itu kosong tanpa penghuni berkata, “Rumah keluarga Jahsy kosong ditinggal penghuninya.” Mereka meninggalkan segalanya, rumah mereka, keluarga mereka dan ternak mereka.

Ketika Abu Bakar berhijrah ke Madinah, ia tidak membawa seorangpun keluarganya. Ia tidak membawa istri, ayah ataupun anaknya. Ia meninggalkan semuanya di Makkah dan berhijrah bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.

Sementara itu putrinya, Asma’ berhijrah dalam keadaan mengandung Abdullah bin Zubair. Dia memberanikan diri mengarungi padang pasir yang gersang meninggalkan kota Makkah yang sangat dicintainya. Ketika mendekati daerah Quba yang berada di sebelah Timur Madinah dia melahirkan anaknya.

Shuhaib bin Sinan ketika berhijrah telah meninggalkan segala kekayaan berupa emas, perak, dan sebagainya yang dikumpulkan dengan menghabiskan masa mudanya tanpa merasa rugi. Sehingga Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman mengenai dirinya:

وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ رَءُوفٌ بِالْعِبَادِ. (البقرة [٢]: ٢٠٧)
“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 207)

Maka ketika Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam melihat dia sampai di Madinah beliau menyambutnya dengan bersabda:

رَبِحَ الْبَيْعُ أَبَا يَحْيَى، رَبِحَ الْبَيْعُ أَبَا يَحْيَى
“Beruntung perdaganganmu, hai Abu Yahya, beruntung perdaganganmu, hai Abu Yahya.”

3.      Konsistensi Terhadap Al-Qur’an

Para Shahabat adalah orang-orang yang sangat senang dan konsisten membaca Al-Qur’an, setelah membacanya mereka berusaha mengamalkannya. Abdurrahman As-Sulami berkata, “Para Shahabat tidak menambahnya (belajar Al-Qur’an) sampai memahami dan mengamalkannya.”

Abu Thalhah orang yang sangat tua dan telah lemah, suatu ketika membaca Al-Qur’an dan saat sampai pada:
انفِرُوا خِفَافًا وَثِقَالًا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ. (التوبة [٩]: ٤١)
“Berangkatlah kalian baik dalam keadaan ringan maupun berat dan berjihadlah dengan harta dan jiwamu di jalan Allah yang demikian itu lebih baik bagi kamu jika kamu mengerti.” (Q.S. At-Taubah [9]: 41)

Lalu dia memanggil anak-anak dan istrinya. Dia berkata kepada mereka, “Aku merasa Allah meminta berjuang baik dalam kondisi muda maupun tua. Siapkan bekalku.” Anak-anaknya berkata, “Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada ayah. Bukankah ayah telah berjuang bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam hingga beliau wafat. Juga dengan Abu Bakar dan Umar. Sekarang biarkanlah kami berperang menggantikanmu.” Dia menjawab, “Tidak, kalian mesti mempersiapkan untukku.” Anak-anaknya tidak dapat mencegahnya. Oleh karena itu mereka mampu siapkan bekalnya dan berperanglah dia mengikuti armada Islam di laut akhirnya meninggal dalam pertempuran itu.

Abu Ayyub Al-Anshary shahabat yang rumahnya pertama kali ditempati Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam setelah beliau di Madinah adalah salah seorang yang mendengar sabda beliau:
لَتَفْتَحُنَّ الْقَنْسْطَنْطَانِيَّةُ فَخَيْرُ الْأَمِيْرِ أَمِيْرُهَا وَخَيْرُ الْجُيُوْسِ جُيُوْسُهَا. (رواه احمد)
“Kalian akan membebaskan Konstantinopel, maka sebaik-baik pemimpin adalah pemimpinnya dan sebaik-baik pasukan adalah pasukannya.” (H.R. Ahmad)

Oleh karena itu dia selalu mengikuti setiap peperangan agar dapat masuk dalam hadis yang dinubuwahkan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Maka ketika Yazid bin Mu’awiyah mengumumkan untuk membebaskan kota Konstantinopel, walaupun umurnya telah mencapai sekitar 80 tahun, dia bertolak dari Madinah menempuh perjalanan yang sangat panjang dan melelahkan. Bulan demi bulan pembebasan itu belum terwujud.

Akhirnya kepenatan menimpa shahabat yang sudah renta itu. Ketika menjelang wafat, Yazid menanyakan permintaan terakhirnya, ia berkata, “Jika aku meninggal bawalah jasadku ke tempat negeri musuh yang paling jauh kemudian kuburkanlah aku dan kembalilah.” Yazid melaksanakan permintaannya tersebut.

Kira-kira enam abad kemudian, di bawah komandan Muhammad Al-Fatih umat Islam berhasil membebaskan Konstantinopel yang kemudian diubah menjadi Istambul (Islambul). Muhammad Al-Fatih memerintahkan mencari kuburan Abu Ayyub Al-Anshari kemudian didirikan masjid di dekat kuburan tersebut.

Konsistensi para Shahabat dapat juga kita lihat bagaimana reaksi mereka terhadap firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
لَنْ تَنَالُوْا الْبِرَّ حَتَّىٰ تُنْفِقُوْا مِمَّا تُحِبُّوْنَ ۚ وَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيْمٌ. (ال عمران [٣]: ٩٢)
“Sekali-kali kalian tidak akan mencapai kebaikan, sebelum kamu mendermakan sebagian dari hasil yang kamu sayangi. Dan apa juapun yang kamu dermakan itu sesungguhnya Allah mengetahui.” (Q.S. Ali Imran [3]: 92)

Setelah ayat ini turun, bukan main besar pengaruhnya kepada para Shahabat. Seorang Shahabat yang juga bernama Abu Thalhah mempunyai kekayaan satu-satunya yang amat dibanggakan, yaitu kebun bernama Bairuhaa’, tidak berapa jauh dari Masjid Madinah. Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam sering singgah ke kebun itu meminum airnya yang sejuk. Nama Abu Thalhah amat terkenal karena kebunnya yang subur itu. Tetapi setelah ayat itu turun, masuklah pengaruhnya ke dalam hati Abu Thalhah. Dia terus menemui Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dan berkata, “Aku akan mengamalkan wahyu Allah itu, ya Rasulullah. Kekayaan yang paling aku cintai, sehingga tidak ada yang lain lagi adalah Bairuhaa’. Terimalah dia sebagai sedekahku, ya Rasulullah dan aku kuasakan kepada anda untuk menyerahkannya kepada siapa yang patut menerimanya. Lalu beliau menguasakan kepada Abu Thalhah sendiri untuk membagikannya kepada keluarga dekatnya. Menurut riwayat Muslim, harta itu diberikannya kepada Zaid bin Tsabit dan Ubay bin Ka’ab.

Dalam rangka mengamalkan ayat ini pula Zaid bin Haritsah, bekas anak angkat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam membawa kudanya yang sangat dicintai yang bernama Subul kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dan berkata, “Aku ingin mengamalkan ayat itu, ya Rasulullah. Inilah kudaku, sebagaimana yang engkau tahu, adalah yang paling aku cintai. Terimalah dia sebagai sedekahku dan berikanlah kepada yang patut menerimanya.” Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam menerimanya dan menyerahkannya kepada Usamah bin Zaid, putra Zaid sendiri.

Abu Hasan Al-Anthaki bercerita, pada suatu hari berkumpul lebih 30 orang ulama di suatu desa dekat negeri Raiy (Teheran sekarang). Hari telah malam, semuanya lapar, sedang roti hanya beberapa potong saja, tidak cukup untuk makan orang lebih dari 30 orang. Maka ada di antara mereka mengambil roti yang sedikit itu dan memecahnya lalu meletakkan di tengah-tengah, sedang lampu mereka padamkan. Setelah lampu padam kedengaran ada yang pergi mengambil roti itu berganti-ganti, mengecap-ngecap mulut seperti orang makan lalu terus pergi tidur dan mengatakan kepada yang belum makan, bahwa makanan masih banyak. Setelah siang kelihatanlah bahwa roti masih utuh. Tidak seorangpun yang makan, hanya pura-pura makan karena semua memikirkan temannya, agar temannya makan walau dia sendiri lapar. Inilah realisasi dari firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
وَالَّذِينَ تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِن قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِّمَّا أُوتُوا وَيُؤْثِرُونَ عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ ۚ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ. (الحشر [٥٩]: ٩)
“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor) 'mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan am kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.” (Q.S. Al-Hasyr [59]: 9)
Secara tekstual ayat ini menggambarkan kelebihan dan pujian Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepada orang Anshar:

Pertama, mereka telah menunggu orang Muhajirin di kota tempat mereka dengan tetap dalam iman.

Kedua, mereka mencintai saudara-saudara mereka yang datang menumpang.

Ketiga, mereka tidak merasa keberatan jika orang Muhajirin mendapat bagian lebih banyak.

Keempat, mereka lebih mengutamakan orang Muhajirin dari pada diri mereka sendiri walaupun mereka sendiri dalam kesusahan.

Kelima, mereka sanggup mengatasi sifat kikir sehingga mereka mendapat kemenangan.


Semoga kita mampu meniru mereka. Wallahu A’lam bis Shawwab

Kamis, 17 September 2015


Rabu, 16 September 2015

MAKLUMAT GHAZWAH FATH AL-AQSHA

Posted by Unknown | 23.42 Categories:

MAKLUMAT GHAZWAH FATH AL-AQSHA


بــــســـم الله الرحـمـن الرحـيـم

Dengan mohon pertolongan dan Ridla Allah Subhanahu wa ta'ala dengan ini kami Ghazwah Fath Al-Aqsha memaklumkan kepada umat manusia hal-hal sebagai berikut :

1.      Hai seluruh manusia ketahuilah, sesungguhnya Masjidil Aqsha sesuai dengan ayat-ayat Allah di dalam surat  At-Taubah : 17-18, Al-Isra : 1-7, An-Nuur : 55, Al-Fath : 1-4, An-Nashr : 1-3 dan lain-lain dalil-dalil yang qath'i adalah hak muslimin untuk menjaga, memelihara, dan mempertahankannya (Al-Anfaal : 60, Al-Fath : 4)

2.      Mengingat sampai saat ini Masjidil Aqsha masih berada diluar penguasaan muslimin, maka pada kaum Zionis Israil dan kelompoknya kami peringatkan agar segera meninggalkan Masjidil Aqsha dan menyerahkannya ke tangan Muslimin.

3.      Kepada kaum muslimin di manapun berada di seluruh dunia, dengan mohon pertolongan Allah Subhanahu wa ta'ala, agar segera bersatu padu mempersiapkan segala dana dan kemampuan (fund dan forces) untuk menerima kembali Masjidil Aqsha dari tangan Zionis Israel.

4.      Kepada semua kekuatan, naik perorangan maupun Negara, langsung atau tidak langsung atau tidak langsung yang menolak kembalinya hak muslimin itu, kami peringatkan:
a.       Bahwa kami tidak akan memerangi anda.
b.      Kami tidak akan melakukan perbuatan tindakan kekerasan, pembunuhan terhadap wanita, anak-anak, orang tua, pendeta, pastur maupun pemuka-pemuka agama lainnya.
c.       Kami tidak akan melakukan pengrusakan terhadap rumah-rumah ibadah, pohon-pohon yang sedang berbuah dan sebagainya.
d.      Kami tidak akan melakukan perampasan atas harta-harta mereka.
e.       Namun apabila kami dihinakan, maka kami akan membela diri dengan segenap kekuatan muslimin dimanapun mereka berada sampai kami menang atau syahid.

Demikianlah, dengan mohon perlindungan dan ridha Allah Subhanahu wa ta'ala maklumat ini dikeluarkan oleh Imaamul Muslimin di Bogor - Jawa Barat Indonesia pada tanggal 24 Sya'ban 1427 H./17 September 2006 M.

Iyyaaka na'budu wa iyyaaka nasta'iin, laa haula wa laa quwwata illaa billah.
بسم الله الرحمن الرحيم






RELEVANSI HAJI DAN KURBAN
DENGAN KESATUAN UMAT

Oleh:
Drs. Yakhsyallah Mansur, MA.





بسم الله الرحمن الرحيم

اَلْحَمْدُ لِلّهِ نَحْمَدُهُ وَ نَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ  وَنَعُوذُ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ اَنْفُسِنَا وَسَيِّأَتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِ اللهِ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلهَ اِلاَّ اللهِ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ. اَللّهُمَ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى الِهِ وَ اَصْحَابِهِ وَمَنْ وَلاَهُ وَ مَنِ اتَّبَعَهُ. أَمَّا بَعْدُ


MUQADDIMAH
Ibadah haji dan kurban adalah berasal dari Bapak Monotheisme, Nabi Ibrahim 'Alaihi Salam, sosok pribadi yang memiliki perjalanan hidup yang penuh teladan bagi manusia yang ingin menghambakan diri secara penuh kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala, sebagaimana ditegaskan oleh Allah dalam firman-Nya:
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ إِلَّا قَوْلَ إِبْرَاهِيمَ لِأَبِيهِ لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ وَمَا أَمْلِكُ لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ شَيْءٍ رَبَّنَا عَلَيْكَ تَوَكَّلْنَا وَإِلَيْكَ أَنَبْنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ (الممتحنة: ٤)
"Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: "Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran) mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. Kecuali perkataan Ibrahim kepada bapaknya: "Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan aku tiada dapat menolak sesuatupun dari kamu (siksaan) Allah". (Ibrahim berkata): "Ya Tuhan kami, hanya kepada Engkaulah kami bertawakkal dan hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali, " (QS. Al-Mumtahanah: 4)

Nabi Ibrahim 'Alaihi Salam adalah manusia yang menemukan Tuhan dalam arti yang sebenarnya, yaitu Tuhan yang satu, yang bersifat universal bukan sekedar Tuhan suku atau golongan manusia tertentu tetapi Tuhan seru sekalian alam, Tuhan sebelum dan sesudah manusia tercipta di alam raya ini. Inilah yang kemudian dikenal dengan prinsip keyakinan tauhid yaitu keyakinan akan keesaan Allah Subhanahu Wa Ta'ala. Karena Tuhan mereka satu maka sebetulnya mereka adalah umat yang satu yang tidak dapat dipecah-belah oleh situasi dan kondisi apapun.
Praktek-praktek ibadah haji dan kurban pada hakekatnya merupakan penegasan prinsip tauhid yang dianut dan diajarkan oleh Nabi Ibrahim 'Alaihi Salam tersebut. Oleh karena itu, ibadah haji dan kurban akan hilang essensinya apabila tidak dikaitkan dengan prinsip Tauhid yang melahirkan kesatuan umat.


HAJI DAN KESATUAN UMAT
Islam adalah agama yang sangat menekankan kesatuan. Al-Qur'an dengan jelas menyatakan bahwa kaum muslimin adalah satu umat bukan bermacam-macam umat (al-umam). Ketika menyebut umat Islam, Alah selalu menggunakan kalimat tunggal (mufrad) bukan kalimat yang bermakna banyak (jamak). Hal ini tampak dari beberapa ayat di bawah ini:

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا (البقرة: ١٤۳)
"Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu…." (QS. Al-Baqarah: 143)

كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ (ال عمران: ١١۰)
"Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. ..." (QS. Ali 'Imran: 110)

إِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاعْبُدُونِ (الأنبياء: ۹٢)
"Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku." (QS. Al-Anbiyaa': 92)

وَإِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاتَّقُونِ (المؤمنون: ٥٢)
"Sesungguhnya (agama tauhid) ini, adalah agama kamu semua, agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka bertakwalah kepada-Ku." (QS. Al-Mu'minun: 52)

Dalam ayat yang lain, Allah Subhanahu Wa Ta'ala dengan tegas memerintahkan agar umat Islam memelihara kesatuan dan melarang berpecah-belah:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ ءَايَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ (ال عمران: ١۰۳)
"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni`mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni`mat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk." (QS. Ali 'Imran: 103)

Ketika menafsirkan ayat ini, Ibn Katsir menukilkan hadits riwayat Muslim:
اَنَّ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ يَرْضَى لَكُمْ ثَلَاثًا وَيَسْخَطُ لَكُمْ ثَلَاثًا فَيَرْضَى لَكُمْ أَنْ تَعْبُدُوهُ وَلَا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَأَنْ تَعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَيَسْخَطُ لَكُمْ قِيلَ وَقَالَ وَإِضَاعَةِ الْمَالِ وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ (رواه مسلم)
“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Sungguh Allah ridla kepada kalian tiga perkara dan benci kepada kalian tiga perkara. Ridla kepada kalian apabila kalian memperibadatinya dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu, berpegang teguh kepada tali Allah seraya berjama’ah dan tidak berpecah-belah, kalian menasehati orang yang diserahi oleh Allah untuk mengurus urusan kalian. Dia benci kepada kalian tiga perkara: berbicara tanpa dasar, menghambur-hamburkan harta, dan banyak bertanya.” (HR. Muslim)

Selanjutnya Ibn Katsir menyatakan bahwa ayat ini memerintahkan umat Islam berjama’ah (bersatu dan bersama-sama) dan melarang mereka berfirqah-firqah (berpecah-belah)
Sejatinya umat Islam adalah umat yang satu, mengingat Rabb mereka satu; Rasul yang diutus kepada mereka satu; Kiblat mereka satu; Pedoman hidup mereka satu; Syiar-syiar agama mereka satu; syariat mereka satu; dan Imam mereka satu.
Ibadah haji dikumandangkan Nabi Ibrahim ‘Alaihi Salam sekitar 3600 tahun yang lalu. Sesudah masa beliau, praktek-prakteknya sedikit atau banyak telah mengalami perubahan, kemudian diluruskan kembali oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Salah satu yang diluruskan itu adalah praktek ritual yang bertentangan dengan nilai kesatuan dan kebersamaan. Al-Qur’an menegur sekelompok manusia yang dikenal dengan nama “al-hummas” yang merasa memiliki keistimewaan sehingga enggan bersatu dengan orang banyak dalam melakukan wuquf. Mereka wuquf di Mudzalifah sedang orang banyak di Arafah. Pemisahan diri yang dilatarbelakangi oleh perasaan superior dicegah oleh al-Qur'an dan turunlah firman Allah:
ثُمَّ أَفِيضُوا مِنْ حَيْثُ أَفَاضَ النَّاسُ وَاسْتَغْفِرُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (البقرة: ١۹۹)
"Kemudian bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang-orang banyak (`Arafah) dan mohonlah ampun kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Baqarah: 199)
Seluruh syariat yang dipraktekkan dalam pelaksanaan ibadah haji, baik dalam bentuk ritual atau non ritualnya, dalam bentuk kewajiban atau larangannya dan dalam bentuk nyata atau simboliknya, semua akhirnya bermuara kepada ajaran tentang pentingnya kesatuan dan kebersamaan.

Di bawah ini dikemukakan sepintas beberapa praktek amaliah haji dan hubungannya dengan ajaran tersebut:

1.      Ihram
Ibadah haji dimulai dengan niat sambil menanggalkan pakaian biasa dan mengenakan pakaian ihram yang sama, berupa dua helai pakaian berwarna putih sebagaimana yang akan membalut tubuh ketika mengakhiri perjalanan hidup di dunia ini saat meninggal dunia.
Tidak dapat disangkal bahwa pakaian menurut kenyataannya berfungsi antara lain untuk membedakan antara seseorang atau kelompok dengan lainnya. Perbedaan itu dapat membawa perbedaan status sosial, ekonomi, atau profesi. Pakaian juga dapat memberi pengaruh psikologis kepada pemakainya. Untuk itulah, jamaah haji diperintahkan menanggalkan pakaian keseharian mereka dan menggantinya dengan pakaian yang sama agar pengaruh psikologis yang negatif dari pakaian dapat ditanggalkan sehingga semua merasakan dalam satu kesatuan dan persamaan.

2.      Thawaf
Ka'bah yang mereka kunjungi mengandung pelajaran yang amat berharga bagi terwujudnya kesatuan dan kebersamaan. Dari berbagai penjuru, para hujjaj datang mengunjungi satu titik yang sama dan melakukan bentuk peribadatan berupa thawaf dengan aktifitas yang sama. Hal ini mengingatkan agar setiap muslim memiliki tujuan hidup yang sama dan dalam setiap melakukan aktifitas selalu mengedepankan persamaan dan menghindarkan perbedaan. Di Ka’bah ini Isma’il putra Ibrahim ‘Alaihi Salam berada dalam pangkuan ibunya yang bernama Hajar, seorang wanita hitam, miskin bahkan budak, yang konon kuburannya berada di dekat Ka’bah di tempat yang sekarang disebut Hijr Isma’il. Namun demikian, budak wanita ini ditempatkan oleh Allah di rumah-Nya untuk memberi pelajaran bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala memandang manusia itu sama. Yang membedakan mereka di sisi Allah hanya taqwanya. Apabila Allah tidak membedakan status manusia, mengapa kita harus membedakan mereka? Disini sekali lagi kita mendapatkan pelajaran tentang persamaan diantara manusia.

3.      Sa’i
Setelah melakukan thawaf yang menjadikan pelakunya larut dan berbaur bersama manusia yang lain, serta memberi nuansa kebersamaan, para hujjaj menuju satu tujuan yang sama yakni mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah, dilakukanlah sa’i.
Sa’i, yang arti harfiahnya usaha, dimulai dari bukit Shafa yang berarti kesucian dan ketegaran dan diakhiri di Marwa yang berarti ideal manusia, sikap menghargai, bermurah hati, dan memaafkan orang lain. Inilah nilai-nilai kehidupan yang apabila diterapkan akan mewujudkan kesatuan dan kebersamaan. Dalam realitas pergaulan manusia, kita memang dituntut berusaha sesuai dengan profesi kita masing-masing. Agar usaha kita tidak menimbulkan persaingan yang berdampak kepada perpecahan, maka usaha yang kita lakukan harus sesuai dengan tuntunan Allah dan dimulai dengan niat yang suci serta dilandasi dengan prinsip saling menghargai diantara manusia.

4.      Wukuf
Di Arafah, padang yang luas lagi gersang itu, seluruh jamaah haji wuquf (berhenti) sampai terbenamnya matahari. Disinilah seharusnya setiap pribadi menemukan ma’rifah (pengetahuan) tentang jatidirinya bahwa mereka masing-masing adalah bagian dari satu umat yang tidak dapat dipisahkan dalam segala situasi dan kondisi bahkan dalam saat yang paling menderita sekalipun seperti kondisi di padang Mahsyar.
Arafah adalah miniatur padang Mahsyar, terminal akhir perjalanan manusia sebelum ditentukan nasibnya, apakah dia akan ke surga atau ke neraka. Disinilah manusia akan diadili oleh Allah dengan seadil-adilnya. Oleh karena itu, apabila terjadi perselisihan, janganlah merasa diri paling benar selama yang diperselisihkan bukan hal-hal yang qath’i yang sudah dipastikan kebenarannya oleh Allah dan Rasul-Nya. Di Arafah ini hendaknya manusia menyadari pula bahwa apapun perbedaan yang terjadi diantara mereka akhirnya mereka akan bersatu kembali di padang Mahsyar di bawah keagungan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, satu-satunya Dzat yang mampu menyatukan segala perbedaan. Kesadaran inilah yang akan mengantarkan manusia menjadi arif (memahami) diri sendiri dan orang lain.
Menurut Ibn Sina, apabila kearifan telah menghiasi diri seseorang, maka dia akan “Selalu gembira, banyak senyum karena hatinya telah gembira sejak ia mengenal Allah Subhanhu Wa Ta’ala. Dimana-mana ia melihat satu saja, melihat Allah yang Mahasuci. Semua makhluk dipandangnya sama. Ia tidak mengintip-ngintip atau mencari-cari kesalahan orang. Ia tidak akan cepat tersinggung walau melihat yang mungkar sekalipun (namun bukan berarti tidak memiliki kepekaan terhadap lingkungan). Karena jiwanya telah diliputi oleh rahmat dan kasih sayang.”
Di Arafah inilah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyampaikan khutbah pada Haji Wada’ yang intinya menekankan:
-         Persamaan diantara manusia
-         Keharusan memelihara jiwa, harta dan kehormatan orang lain
-         Larangan melakukan penindasan atau pemerasan terhadap kaum lemah baik di bidang ekonomi, maupun bidang-bidang lain.

5.      Melontar Jumrah
Dari Arafah, para jamaah haji menuju Mudzalifah untuk mengumpulkan batu di malam hari dalam rangka melempar jumrah di Mina. Mereka melemparkan batu pada titik yang sama secara bersama-sama pada waktu yang sama dengan cara yang sama. Batu dikumpulkan di tengah malam sebagai lambang bahwa musuh tidak boleh mengetahui siasat dan senjata kita. Melempar batu pada titik yang sama secara bersama-sama pada waktu yang sama dan dengan cara yang sama merupakan pengajaran bahwa umat Islam dalam menghadapi musuh, mereka harus bekerja sama. Apabila mereka menghadapi musuh sendiri-sendiri bahkan saling berselisih, jangan diharap mereka dapat menang.


KURBAN DAN KESATUAN UMAT
Nabi Ibrahim ‘Alaihi Salam hadir di pentas kehidupan pada suatu masa persimpangan menyangkut tentang pandangan manusia tentang boleh tidaknya manusia dikurbankan sebagai persembahan kepada Tuhan. Satu pihak membolehkannya dan pihak lain tidak membolehkan, karena manusia terlalu mulia untuk tujuan tersebut. Melalui Nabi Ibrahim ‘Alaihi Salam secara amaliah dan tegas larangan itu dikukuhkan. Bukan karena manusia terlalu tinggi nilainya sehingga tidak wajar dikurbankan, tetapi karena Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Putranya Ismail yang semata wayang dan sangat dikasihi diperintahkan Allah untuk dikurbankan, sebagai pertanda bahwa apapun, apabila panggilan Allah datang, semuanya wajar dikorbankan. Setelah perintah tersebut dilaksanakan dengan sepenuh hati oleh ayah dan anak tersebut, Allah dengan kekuasaan-Nya menghalangi penyembelihan tersebut dan menggantinya dengan domba sebagai pertanda bahwa hanya karena kasih sayang Allah kepada manusia, praktek pengurbanan manusia itu tidak diperkenankan.
Peristiwa dramatis yang menjebol nurani kemanusiaan akan teladan agung tentang kurban ini, dikisahkan dengan indah dalam rangkaian ayat-ayat berikut ini:
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ الصَّالِحِينَ(١۰۰)فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلَامٍ حَلِيمٍ(١۰١)فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَابُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَاأَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ(١۰٢)فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ(١۰۳)وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَاإِبْرَاهِيمُ(١۰٤)قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ(١۰٥)إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ(١۰۶)وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ(١۰۷)وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِي الْآخِرِينَ(١۰۸)  سَلَامٌ عَلَى إِبْرَاهِيمَ (١۰۹)كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ(١١۰)

"Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh. Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar". Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu", sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu) "Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim". Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Shaffaat: 100-110)

Ketika Ibrahim ‘Alaihi Salam akan melaksanakan perintah penyembelihan ini dan mata pisau siap menebas leher Ismail, Allah memanggilnya, ‘Hai Ibrahim, engkau telah melaksanakan mimpi itu.” Kemudian Ismail ditebus dengan domba yang besar.
Inilah asal mula ibadah kurban yang dilestarikan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan umatnya sampai saat ini.
Ismail memang utuh. Yang terbunuh oleh Nabi Ibrahim ‘Alaihi Salam adalah kecintaan kepada satu-satunya anak yang dimiliki. Kecintaan kepada duniawi terpenggal oleh tajamnya kepasrahan diri kepada Allah. Inilah teladan luhur yang mengajarkan pada manusia untuk rela melepas apa yang sejatinya milik Allah.
Pengurbanan sesungguhnya adalah fitrah manusia. Kehadiran manusia di dunia adalah pengurbanan yang luar biasa besar. Bayi yang begitu lemah dan tidak mandiri meninggalkan rahim ibu dengan segala fasilitasnya. Termasuk pula putus hubungan dengan placenta satu-satunya pipa logistik yang memasok kebutuhan pangan untuknya. Padahal taruhan lahir ke dunia sangat berat. Ibunya, ladang kehidupan selama dalam kandungan dan di dunia nanti mungkin harus mati demi kelahirannya. Disini tampak bahwa pengurbanan adalah sifat dasar manusia. Kelahirannya ke dunia adalah pengurbanan antara dirinya dan ibunya. Oleh karena itu, Mahabenar Allah yang mensyariatkan kurban kepada umat manusia.
Dalam ibadah kurban, hewan adalah simbol duniawi. Makna di balik ibadah kurban adalah perintah Allah untuk membuang jauh-jauh sifat egoisme, sikap mementingkan diri sendiri dan sikap rakus kepada harta atau kedudukan. Sikap inilah yang menjadi penghambat terwujudnya kesatuan. Oleh karena itu, sikap-sikap ini harus kita buang jauh-jauh apabila kita menginginkan terwujudnya kesatuan umat Islam.
Kurban adalah fenomena ibadah yang menolak segala bentuk kerakusan kepada dunia yang akan melanggar hak orang lain terutama orang-orang yang lemah yang akan mengakibatkan permusuhan diantara manusia. Oleh karena itu, kurban sebenarnya adalah wahana pendidikan rohani yang meniscayakan pentingnya persaudaraan (ukhuwwah) diantara manusia. Perintah kurban kepada orang kaya dan membagikan dagingnya untuk orang miskin merupakan pelajaran penting bahwa Islam menganjurkan kepada umatnya agar memperhatikan kepentingan orang lain, terutama orang-orang yang kekurangan. Melalui syariat kurban, Allah berpesan bahwa manusia akan dapat bertaqarrub (mendekatkan) diri kepada Allah dengan mendekati saudara-saudara kita yang serba kekurangan.
Orang-orang yang memiliki sikap seperti ini akan menjadi makhluk yang sangat dicintai oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sebaliknya, orang-orang yang selalu menjauhkan sesama muslim bahkan membuat perpecahan diantara mereka akan menjadi orang yang paling dibenci oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:
إِنَّ أَحَبَّكُمْ اِلَى اللهِ اَلَّذِينَ يَأْلِفُونَ وَيُؤْلَفُونَ وَإِنَّ أَغْضَبَكُمْ اِلىَ اللهِ اَلْمَشَاءُونَ بِالنَمِيمَةِ اَلْمُفَرِّقُوْنَ بَيْنَ الْإِخْوَان (رواه الطبرانى)
“Sesungguhnya yang paling dicintai oleh Allah diantara kamu adalah orang yang mampu menyesuaikan diri dan diterima penyesuaian dirinya. Sedangkan yang paling dimurkai oleh Allah diantara kamu adalah orang yang berjalan untuk mengadu domba dan memecah-belah diantara saudara.” (HR. Al-Thabrani)

Apabila kita mampu mengimplementasikan makna ibadah kurban secara lebih mendalam dalam kehidupan sehari-hari maka kita menyadari bahwa kurban bukan sekedar membagi-bagikan daging kepada orang-orang miskin tetapi kurban sebenarnya merupakan salah satu sarana sangat penting untuk mewujudkan kesatuan dan kebersamaan diantara umat Islam.
Dengan terwujudnya kesatuan dan kebersamaan diantara umat Islam maka insya Allah, berbagai bencana dan krisis yang datang silih berganti akhir-akhir ini akan teratasi. Mengingat terjadinya berbagai bencana dan krisis tersebut antara lain adalah akibat umat Islam tidak dapat menjaga persatuan dan kebersamaan sebagaimana firman Allah:
وَالَّذِينَ كَفَرُوا بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ إِلَّا تَفْعَلُوهُ تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ وَفَسَادٌ كَبِيرٌ (الانفال: ۷۳)
“Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.“ (QS. Al-Anfaal: 73)

Menurut para ahli tafsir, yang dimaksud dengan “apa yang diperintahkan Allah itu” adalah keharusan adanya kesatuan dan kebersamaan diantara kaum muslimin.

Dalam rangka mewujudkan kembali kesatuan umat yang porak-poranda setelah dihancurkannya kekhilafahan Turki Utsmani oleh Mustafa Kemal al-Taturk, seorang Yahudi yang pura-pura masuk Islam pada tahun 1924, maka ditetapi kembali Jama’ah Muslimin dalam bentuk Jama’ah Muslimin (Hizbullah) pada 10 Dzulhijjah 1372/ 20 Agustus 1953 di bawah Imam Syeikh Wali Al-Fattaah.
Setelah beliau wafat, dibaiatlah pengganti-penggantinya untuk meneruskan keimamahan hingga saat ini.


Wallahu a’lam  bishawab.
  • RSS
  • Delicious
  • Digg
  • Facebook
  • Twitter
  • Linkedin
  • Youtube