بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
UPAYA MENGEMBALIKAN KEPEMIMPINAN DUNIA DENGAN SYARI’AT
Oleh: Imaamul Muslimin
KH. Yakhsyallah Mansur
Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
وَأَنْ
لَّيْسَ لِلْإِنسَانِ إِلَّا مَا سَعَىٰ. (النجم [٥٣]: ٣٩)
“Dan bahwasanya seorang manusia
tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (Q.S. An-Najm [53]: 39)
Kata سَعَىٰ pada mulanya digunakan dalam arti berjalan dengan cepat walau
belum sampai pada tingkat berlari. Arti ini berkembang sehingga dia diartikan
juga dengan upaya sungguh-sungguh.
Melalui ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengingatkan bahwa sesuai dengan
sifat keadilan-Nya, hasil pekerjaan manusia itu akan didapat sekedar usaha yang
dilakukan. Apabila dia rajin dan sungguh-sungguh, akan mendapat banyak tetapi
apabila malas, akan mendapat sedikit bahkan tidak mendapat sama sekali. Apabila
hasilnya seperti ini maka dia tidak dapat menyalahkan orang lain.
Dalam perspektif dakwah Islam hal ini dapat kita lihat pada masa kemajuan
umat Islam. Tidak kurang dari seribu tahun, umat Islam telah dapat mencapai
puncak kemajuan yang sangat tinggi, terutama pada masa sahabat dan Khulafaur
Rasyidin Al Mahdiyyin. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Akan
datang suatu masa kepada manusia yang ketika mereka berperang, mereka ditanya,
“Adakah sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam di antara kalian?”
Mereka menjawab, “Ya.” Merekapun mendapat kemenangan. Mereka kemudian berperang
dan ditanya, “Adakah di antara kalian sahabat dari sahabat Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wasallam?” Mereka menjawab, “Ya.” Merekapun mendapat
kemenangan.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Masa Khulafaur Rasyidin Al Mahdiyyin hanya berlangsung 30 tahun,
sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam:
الْخِلَافَةُ بَعْدِيْ
ثَلَاثُوْنَ سَنَةً (الترمذي)
“Khilafah sesudahku berlangsung 30 tahun.” (H.R. At-Tirmidzi)
Meski demikian, kaum Muslimin pada masa Utsman bin Affan Radhiyallahu Anhu
telah menyebar ke seluruh penjuru termasuk ke Cina.
Keberhasilan para Sahabat tersebut merupakan realisasi janji Allah
Subhanahu Wa Ta’ala dalam firman-Nya:
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ
وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ
الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَىٰ
لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّن بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِي لَا
يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا ۚ وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ
الْفَاسِقُونَ. (النور [٢٤]: ٥٥)
“Dan
Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan
mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan
mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang
sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang
telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan)
mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap
menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan
barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah
orang-orang yang fasik.” (Q.S. An-Nur
[24]: 55)
Imam Syafi’i mengatakan, “Sebagian ahli tafsir menyebutkan bahwa para
Sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam berangan-angan untuk mengalahkan
penduduk Makkah (yang saat itu masih kafir). Maka Allah Subhanahu Wa Ta’ala
menurunkan ayat ini yang merupakan sumpah Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk
menjadikan orang yang beriman dan beramal shalih sebagai khalifah di muka bumi
yang akan mengatur dunia dengan syariat-Nya.” An-Nahhas menjelaskan bahwa
sumpah tersebut telah direalisasikan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan
Fathu Makkah dan berbondong-bondongnya manusia memeluk Islam.
Al-Imam As-Sa’di mengatakan, “Janji Allah dalam ayat ini akan senantiasa
berlaku sampai hari Kiamat selama umat Islam menegakkan iman dan amal shalih.
Diraihnya apa yang telah dijanjikan Allah adalah sebuah kepastian. Kemenangan
orang kafir dan munafik pada sebagian masa dan berkuasanya mereka atas umat
Islam, tidak lain disebabkan oleh pelanggaran umat Islam dalam iman dan amal
shalih.”
Oleh karena itu apabila umat Islam saat ini ingin kembali berjaya memimpin
dunia dengan syariat Islam maka syaratnya adalah memantapkan iman dan amal
shalih sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam
dan para Sahabat serta generasi sesudahnya.
Iman dan Amal Shalih Para Shahabat dan Generasi Sesudahnya
Iman dan amal shalih para shahabat dan generasi sesudahnya sehingga mereka
dapat meraih puncak kemajuan tercermin pada sikap mereka, antara lain:
1.
Ketha’atan dan Kecintaan kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam
Sikap mereka
mencintai dan mengikuti Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam sangat
mengagumkan. Imam Bukhari meriwayatkan bahwa ketika Urwah bin Mas’ud menemui
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dalam perjanjian Hudaibiyah dan melihat
perlakuan para Shahabat kepada beliau. Ketika beliau berwudlu, mereka
memperebutkan air bekas wudlunya, ketika beliau membuang ludah, mereka
memperebutkan ludahnya, dan ketika helai rambut beliau jatuh, mereka
mengambilnya. Ketika Urwah kembali ke Makkah, dia menceritakan hal itu kepada
kaumnya dan berkata, “Kaum apa itu? Demi Tuhan, aku telah diutus ke sejumlah
penguasa. Aku telah diutus kepada kaisar, kisra dan raja Najasyi. Demi Tuhan,
Aku tidak pernah melihat seorang penguasa yang dihormati sedemikian rupa oleh
pengikutnya seperti penghormatan yang diberikan para pengikut Muhammad kepada
Muhammad. Demi Tuhan, jika beliau membuang dahak, pasti dahak itu jatuh ke
telapak tangan salah seorang di antara mereka lalu dilumurkan dahak itu ke
wajah dan kulitnya. Jika beliau berwudlu, mereka memperebutkan air bekas
wudlunya. Jika beliau berbicara, mereka diam menyimaknya. Dan mereka tidak
pernah menatap beliau dengan tajam karena hormat kepada beliau.
Kecintaan ini pula
yang tampak di perang Uhud. Ketika para Shahabat melihat Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wasallam terluka, wajahnya penuh darah, para Shahabat segera merapat
melindungi beliau. Ali bin Abi Thalib memegang tangan beliau, Thalhah
mengangkat beliau hingga dapat berdiri. Malik bin Sinan menghisap darah yang
ada di muka beliau. Abu Ubaidah bin Jarrah mencabut ujung besi yang menembus
pipi beliau hingga gigi taringnya tanggal. Lalu mencabut ujung besi di pipi
sebelahnya hingga gigi taring yang lainnya juga tanggal. Abu Dujanah menjadikan
dirinya sebagai tameng bagi beliau sehingga punggungnya menjadi sasaran, penuh
anak panah.
Ketika pasukan musuh
terus merangsek maju, sepuluh Shahabat segera melindungi beliau hingga semuanya
terbunuh, Thalhah bin Ubaidillah kemudian datang untuk melindungi beliau. Abu Bakar
menggambarkan pengorbanan Thalhah sebagai berikut, “Aku adalah orang yang
mula-mula mendapatkan Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam di tengah kekacauan
perang Uhud. Maka beliau berkata kepadaku dan Abu Ubaidah bin Jarrah,
“Tolonglah saudaramu itu (Thalhah), lalu kami menengoknya dan ternyata sekujur
tubuhnya terdapat lebih tujuh puluh luka berupa tancapan anak panah, tusukan
tombak dan sobekan pedang dan ternyata anak jarinya terputus maka kami segera
merawatnya dengan baik.”
2.
Rela Mengorbankan Segalanya Untuk Islam
Hal ini tampak dalam peristiwa
hijrah ke Madinah. Ali bin Abi Thalib tidur di kasur Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wasallam pada malam beliau hijrah ke Madinah. Ini berarti sejak awal dia
rela mengorbankan nyawanya demi beliau.
Suatu hari rombongan
kafir Quraisy, di antaranya Utbah bin Rabiah melintasi rumah Jahsy yang akan
hijrah ke Madinah. Utbah melihat rumah itu kosong tanpa penghuni berkata,
“Rumah keluarga Jahsy kosong ditinggal penghuninya.” Mereka meninggalkan
segalanya, rumah mereka, keluarga mereka dan ternak mereka.
Ketika Abu Bakar
berhijrah ke Madinah, ia tidak membawa seorangpun keluarganya. Ia tidak membawa
istri, ayah ataupun anaknya. Ia meninggalkan semuanya di Makkah dan berhijrah
bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.
Sementara itu
putrinya, Asma’ berhijrah dalam keadaan mengandung Abdullah bin Zubair. Dia
memberanikan diri mengarungi padang pasir yang gersang meninggalkan kota Makkah
yang sangat dicintainya. Ketika mendekati daerah Quba yang berada di sebelah
Timur Madinah dia melahirkan anaknya.
Shuhaib bin Sinan
ketika berhijrah telah meninggalkan segala kekayaan berupa emas, perak, dan
sebagainya yang dikumpulkan dengan menghabiskan masa mudanya tanpa merasa rugi.
Sehingga Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman mengenai dirinya:
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ
مَرْضَاتِ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ رَءُوفٌ بِالْعِبَادِ. (البقرة [٢]: ٢٠٧)
“Dan
di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan
Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 207)
Maka ketika
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam melihat dia sampai di Madinah beliau menyambutnya
dengan bersabda:
رَبِحَ الْبَيْعُ أَبَا يَحْيَى، رَبِحَ
الْبَيْعُ أَبَا يَحْيَى
“Beruntung perdaganganmu, hai Abu Yahya, beruntung perdaganganmu, hai Abu
Yahya.”
3.
Konsistensi Terhadap Al-Qur’an
Para Shahabat adalah
orang-orang yang sangat senang dan konsisten membaca Al-Qur’an, setelah
membacanya mereka berusaha mengamalkannya. Abdurrahman As-Sulami berkata, “Para
Shahabat tidak menambahnya (belajar Al-Qur’an) sampai memahami dan
mengamalkannya.”
Abu Thalhah orang
yang sangat tua dan telah lemah, suatu ketika membaca Al-Qur’an dan saat sampai
pada:
انفِرُوا خِفَافًا
وَثِقَالًا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۚ
ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ. (التوبة [٩]: ٤١)
“Berangkatlah kalian baik dalam keadaan ringan maupun berat dan berjihadlah
dengan harta dan jiwamu di jalan Allah yang demikian itu lebih baik bagi kamu
jika kamu mengerti.” (Q.S. At-Taubah [9]: 41)
Lalu dia memanggil
anak-anak dan istrinya. Dia berkata kepada mereka, “Aku merasa Allah meminta
berjuang baik dalam kondisi muda maupun tua. Siapkan bekalku.” Anak-anaknya
berkata, “Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada ayah. Bukankah ayah telah
berjuang bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam hingga beliau wafat.
Juga dengan Abu Bakar dan Umar. Sekarang biarkanlah kami berperang
menggantikanmu.” Dia menjawab, “Tidak, kalian mesti mempersiapkan untukku.”
Anak-anaknya tidak dapat mencegahnya. Oleh karena itu mereka mampu siapkan
bekalnya dan berperanglah dia mengikuti armada Islam di laut akhirnya meninggal
dalam pertempuran itu.
Abu Ayyub Al-Anshary
shahabat yang rumahnya pertama kali ditempati Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wasallam setelah beliau di Madinah adalah salah seorang yang mendengar sabda
beliau:
لَتَفْتَحُنَّ الْقَنْسْطَنْطَانِيَّةُ
فَخَيْرُ الْأَمِيْرِ أَمِيْرُهَا وَخَيْرُ الْجُيُوْسِ جُيُوْسُهَا. (رواه احمد)
“Kalian akan membebaskan Konstantinopel, maka sebaik-baik pemimpin adalah
pemimpinnya dan sebaik-baik pasukan adalah pasukannya.” (H.R. Ahmad)
Oleh karena itu dia
selalu mengikuti setiap peperangan agar dapat masuk dalam hadis yang dinubuwahkan
oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Maka ketika Yazid bin Mu’awiyah
mengumumkan untuk membebaskan kota Konstantinopel, walaupun umurnya telah
mencapai sekitar 80 tahun, dia bertolak dari Madinah menempuh perjalanan yang
sangat panjang dan melelahkan. Bulan demi bulan pembebasan itu belum terwujud.
Akhirnya kepenatan
menimpa shahabat yang sudah renta itu. Ketika menjelang wafat, Yazid menanyakan
permintaan terakhirnya, ia berkata, “Jika aku meninggal bawalah jasadku ke
tempat negeri musuh yang paling jauh kemudian kuburkanlah aku dan kembalilah.”
Yazid melaksanakan permintaannya tersebut.
Kira-kira enam abad
kemudian, di bawah komandan Muhammad Al-Fatih umat Islam berhasil membebaskan
Konstantinopel yang kemudian diubah menjadi Istambul (Islambul). Muhammad
Al-Fatih memerintahkan mencari kuburan Abu Ayyub Al-Anshari kemudian didirikan
masjid di dekat kuburan tersebut.
Konsistensi para
Shahabat dapat juga kita lihat bagaimana reaksi mereka terhadap firman Allah
Subhanahu Wa Ta’ala:
لَنْ تَنَالُوْا الْبِرَّ حَتَّىٰ تُنْفِقُوْا
مِمَّا تُحِبُّوْنَ ۚ وَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيْمٌ.
(ال عمران [٣]: ٩٢)
“Sekali-kali kalian tidak akan mencapai kebaikan, sebelum kamu mendermakan
sebagian dari hasil yang kamu sayangi. Dan apa juapun yang kamu dermakan itu
sesungguhnya Allah mengetahui.” (Q.S. Ali Imran [3]: 92)
Setelah ayat ini
turun, bukan main besar pengaruhnya kepada para Shahabat. Seorang Shahabat yang
juga bernama Abu Thalhah mempunyai kekayaan satu-satunya yang amat dibanggakan,
yaitu kebun bernama Bairuhaa’, tidak berapa jauh dari Masjid Madinah. Nabi
Shallallahu Alaihi Wasallam sering singgah ke kebun itu meminum airnya yang
sejuk. Nama Abu Thalhah amat terkenal karena kebunnya yang subur itu. Tetapi
setelah ayat itu turun, masuklah pengaruhnya ke dalam hati Abu Thalhah. Dia
terus menemui Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dan berkata, “Aku akan mengamalkan
wahyu Allah itu, ya Rasulullah. Kekayaan yang paling aku cintai, sehingga tidak
ada yang lain lagi adalah Bairuhaa’. Terimalah dia sebagai sedekahku, ya
Rasulullah dan aku kuasakan kepada anda untuk menyerahkannya kepada siapa yang
patut menerimanya. Lalu beliau menguasakan kepada Abu Thalhah sendiri untuk
membagikannya kepada keluarga dekatnya. Menurut riwayat Muslim, harta itu
diberikannya kepada Zaid bin Tsabit dan Ubay bin Ka’ab.
Dalam rangka
mengamalkan ayat ini pula Zaid bin Haritsah, bekas anak angkat Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wasallam membawa kudanya yang sangat dicintai yang bernama Subul
kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dan berkata, “Aku ingin
mengamalkan ayat itu, ya Rasulullah. Inilah kudaku, sebagaimana yang engkau
tahu, adalah yang paling aku cintai. Terimalah dia sebagai sedekahku dan
berikanlah kepada yang patut menerimanya.” Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wasallam menerimanya dan menyerahkannya kepada Usamah bin Zaid, putra Zaid
sendiri.
Abu Hasan Al-Anthaki
bercerita, pada suatu hari berkumpul lebih 30 orang ulama di suatu desa dekat
negeri Raiy (Teheran sekarang). Hari telah malam, semuanya lapar, sedang roti
hanya beberapa potong saja, tidak cukup untuk makan orang lebih dari 30 orang.
Maka ada di antara mereka mengambil roti yang sedikit itu dan memecahnya lalu
meletakkan di tengah-tengah, sedang lampu mereka padamkan. Setelah lampu padam
kedengaran ada yang pergi mengambil roti itu berganti-ganti, mengecap-ngecap
mulut seperti orang makan lalu terus pergi tidur dan mengatakan kepada yang
belum makan, bahwa makanan masih banyak. Setelah siang kelihatanlah bahwa roti
masih utuh. Tidak seorangpun yang makan, hanya pura-pura makan karena semua
memikirkan temannya, agar temannya makan walau dia sendiri lapar. Inilah
realisasi dari firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
وَالَّذِينَ
تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِن قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ
إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِّمَّا أُوتُوا
وَيُؤْثِرُونَ عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ ۚ وَمَن يُوقَ
شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ. (الحشر [٥٩]: ٩)
“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah
beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor)
'mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor)
tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan
kepada mereka (Muhajirin); dan am kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari
kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.” (Q.S. Al-Hasyr [59]: 9)
Secara tekstual ayat
ini menggambarkan kelebihan dan pujian Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepada orang
Anshar:
Pertama, mereka telah menunggu orang
Muhajirin di kota tempat mereka dengan tetap dalam iman.
Kedua, mereka mencintai
saudara-saudara mereka yang datang menumpang.
Ketiga, mereka tidak merasa keberatan
jika orang Muhajirin mendapat bagian lebih banyak.
Keempat, mereka lebih mengutamakan orang
Muhajirin dari pada diri mereka sendiri walaupun mereka sendiri dalam
kesusahan.
Kelima, mereka sanggup mengatasi sifat
kikir sehingga mereka mendapat kemenangan.
Semoga kita mampu
meniru mereka. Wallahu A’lam bis Shawwab