Minggu, 20 September 2015
UPAYA MENGEMBALIKAN KEPEMIMPINAN DUNIA DENGAN SYARI’AT
Posted by Unknown | 09.50 Categories: KH. Yakhsyallah Mansur
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
UPAYA MENGEMBALIKAN KEPEMIMPINAN DUNIA DENGAN SYARI’AT
Oleh: Imaamul Muslimin
KH. Yakhsyallah Mansur
Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
وَأَنْ
لَّيْسَ لِلْإِنسَانِ إِلَّا مَا سَعَىٰ. (النجم [٥٣]: ٣٩)
“Dan bahwasanya seorang manusia
tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.” (Q.S. An-Najm [53]: 39)
Kata سَعَىٰ pada mulanya digunakan dalam arti berjalan dengan cepat walau
belum sampai pada tingkat berlari. Arti ini berkembang sehingga dia diartikan
juga dengan upaya sungguh-sungguh.
Melalui ayat ini Allah Subhanahu Wa Ta’ala mengingatkan bahwa sesuai dengan
sifat keadilan-Nya, hasil pekerjaan manusia itu akan didapat sekedar usaha yang
dilakukan. Apabila dia rajin dan sungguh-sungguh, akan mendapat banyak tetapi
apabila malas, akan mendapat sedikit bahkan tidak mendapat sama sekali. Apabila
hasilnya seperti ini maka dia tidak dapat menyalahkan orang lain.
Dalam perspektif dakwah Islam hal ini dapat kita lihat pada masa kemajuan
umat Islam. Tidak kurang dari seribu tahun, umat Islam telah dapat mencapai
puncak kemajuan yang sangat tinggi, terutama pada masa sahabat dan Khulafaur
Rasyidin Al Mahdiyyin. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Akan
datang suatu masa kepada manusia yang ketika mereka berperang, mereka ditanya,
“Adakah sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam di antara kalian?”
Mereka menjawab, “Ya.” Merekapun mendapat kemenangan. Mereka kemudian berperang
dan ditanya, “Adakah di antara kalian sahabat dari sahabat Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wasallam?” Mereka menjawab, “Ya.” Merekapun mendapat
kemenangan.” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Masa Khulafaur Rasyidin Al Mahdiyyin hanya berlangsung 30 tahun,
sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam:
الْخِلَافَةُ بَعْدِيْ
ثَلَاثُوْنَ سَنَةً (الترمذي)
“Khilafah sesudahku berlangsung 30 tahun.” (H.R. At-Tirmidzi)
Meski demikian, kaum Muslimin pada masa Utsman bin Affan Radhiyallahu Anhu
telah menyebar ke seluruh penjuru termasuk ke Cina.
Keberhasilan para Sahabat tersebut merupakan realisasi janji Allah
Subhanahu Wa Ta’ala dalam firman-Nya:
وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ
وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ
الَّذِينَ مِن قَبْلِهِمْ وَلَيُمَكِّنَنَّ لَهُمْ دِينَهُمُ الَّذِي ارْتَضَىٰ
لَهُمْ وَلَيُبَدِّلَنَّهُم مِّن بَعْدِ خَوْفِهِمْ أَمْنًا ۚ يَعْبُدُونَنِي لَا
يُشْرِكُونَ بِي شَيْئًا ۚ وَمَن كَفَرَ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ
الْفَاسِقُونَ. (النور [٢٤]: ٥٥)
“Dan
Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan
mengerjakan amal-amal yang saleh bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan
mereka berkuasa dimuka bumi, sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang
sebelum mereka berkuasa, dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang
telah diridhai-Nya untuk mereka, dan Dia benar-benar akan menukar (keadaan)
mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman sentausa. Mereka tetap
menyembahku-Ku dengan tiada mempersekutukan sesuatu apapun dengan Aku. Dan
barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah (janji) itu, maka mereka itulah
orang-orang yang fasik.” (Q.S. An-Nur
[24]: 55)
Imam Syafi’i mengatakan, “Sebagian ahli tafsir menyebutkan bahwa para
Sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam berangan-angan untuk mengalahkan
penduduk Makkah (yang saat itu masih kafir). Maka Allah Subhanahu Wa Ta’ala
menurunkan ayat ini yang merupakan sumpah Allah Subhanahu Wa Ta’ala untuk
menjadikan orang yang beriman dan beramal shalih sebagai khalifah di muka bumi
yang akan mengatur dunia dengan syariat-Nya.” An-Nahhas menjelaskan bahwa
sumpah tersebut telah direalisasikan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala dengan
Fathu Makkah dan berbondong-bondongnya manusia memeluk Islam.
Al-Imam As-Sa’di mengatakan, “Janji Allah dalam ayat ini akan senantiasa
berlaku sampai hari Kiamat selama umat Islam menegakkan iman dan amal shalih.
Diraihnya apa yang telah dijanjikan Allah adalah sebuah kepastian. Kemenangan
orang kafir dan munafik pada sebagian masa dan berkuasanya mereka atas umat
Islam, tidak lain disebabkan oleh pelanggaran umat Islam dalam iman dan amal
shalih.”
Oleh karena itu apabila umat Islam saat ini ingin kembali berjaya memimpin
dunia dengan syariat Islam maka syaratnya adalah memantapkan iman dan amal
shalih sebagaimana yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam
dan para Sahabat serta generasi sesudahnya.
Iman dan Amal Shalih Para Shahabat dan Generasi Sesudahnya
Iman dan amal shalih para shahabat dan generasi sesudahnya sehingga mereka
dapat meraih puncak kemajuan tercermin pada sikap mereka, antara lain:
1.
Ketha’atan dan Kecintaan kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam
Sikap mereka
mencintai dan mengikuti Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam sangat
mengagumkan. Imam Bukhari meriwayatkan bahwa ketika Urwah bin Mas’ud menemui
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dalam perjanjian Hudaibiyah dan melihat
perlakuan para Shahabat kepada beliau. Ketika beliau berwudlu, mereka
memperebutkan air bekas wudlunya, ketika beliau membuang ludah, mereka
memperebutkan ludahnya, dan ketika helai rambut beliau jatuh, mereka
mengambilnya. Ketika Urwah kembali ke Makkah, dia menceritakan hal itu kepada
kaumnya dan berkata, “Kaum apa itu? Demi Tuhan, aku telah diutus ke sejumlah
penguasa. Aku telah diutus kepada kaisar, kisra dan raja Najasyi. Demi Tuhan,
Aku tidak pernah melihat seorang penguasa yang dihormati sedemikian rupa oleh
pengikutnya seperti penghormatan yang diberikan para pengikut Muhammad kepada
Muhammad. Demi Tuhan, jika beliau membuang dahak, pasti dahak itu jatuh ke
telapak tangan salah seorang di antara mereka lalu dilumurkan dahak itu ke
wajah dan kulitnya. Jika beliau berwudlu, mereka memperebutkan air bekas
wudlunya. Jika beliau berbicara, mereka diam menyimaknya. Dan mereka tidak
pernah menatap beliau dengan tajam karena hormat kepada beliau.
Kecintaan ini pula
yang tampak di perang Uhud. Ketika para Shahabat melihat Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wasallam terluka, wajahnya penuh darah, para Shahabat segera merapat
melindungi beliau. Ali bin Abi Thalib memegang tangan beliau, Thalhah
mengangkat beliau hingga dapat berdiri. Malik bin Sinan menghisap darah yang
ada di muka beliau. Abu Ubaidah bin Jarrah mencabut ujung besi yang menembus
pipi beliau hingga gigi taringnya tanggal. Lalu mencabut ujung besi di pipi
sebelahnya hingga gigi taring yang lainnya juga tanggal. Abu Dujanah menjadikan
dirinya sebagai tameng bagi beliau sehingga punggungnya menjadi sasaran, penuh
anak panah.
Ketika pasukan musuh
terus merangsek maju, sepuluh Shahabat segera melindungi beliau hingga semuanya
terbunuh, Thalhah bin Ubaidillah kemudian datang untuk melindungi beliau. Abu Bakar
menggambarkan pengorbanan Thalhah sebagai berikut, “Aku adalah orang yang
mula-mula mendapatkan Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam di tengah kekacauan
perang Uhud. Maka beliau berkata kepadaku dan Abu Ubaidah bin Jarrah,
“Tolonglah saudaramu itu (Thalhah), lalu kami menengoknya dan ternyata sekujur
tubuhnya terdapat lebih tujuh puluh luka berupa tancapan anak panah, tusukan
tombak dan sobekan pedang dan ternyata anak jarinya terputus maka kami segera
merawatnya dengan baik.”
2.
Rela Mengorbankan Segalanya Untuk Islam
Hal ini tampak dalam peristiwa
hijrah ke Madinah. Ali bin Abi Thalib tidur di kasur Rasulullah Shallallahu
Alaihi Wasallam pada malam beliau hijrah ke Madinah. Ini berarti sejak awal dia
rela mengorbankan nyawanya demi beliau.
Suatu hari rombongan
kafir Quraisy, di antaranya Utbah bin Rabiah melintasi rumah Jahsy yang akan
hijrah ke Madinah. Utbah melihat rumah itu kosong tanpa penghuni berkata,
“Rumah keluarga Jahsy kosong ditinggal penghuninya.” Mereka meninggalkan
segalanya, rumah mereka, keluarga mereka dan ternak mereka.
Ketika Abu Bakar
berhijrah ke Madinah, ia tidak membawa seorangpun keluarganya. Ia tidak membawa
istri, ayah ataupun anaknya. Ia meninggalkan semuanya di Makkah dan berhijrah
bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam.
Sementara itu
putrinya, Asma’ berhijrah dalam keadaan mengandung Abdullah bin Zubair. Dia
memberanikan diri mengarungi padang pasir yang gersang meninggalkan kota Makkah
yang sangat dicintainya. Ketika mendekati daerah Quba yang berada di sebelah
Timur Madinah dia melahirkan anaknya.
Shuhaib bin Sinan
ketika berhijrah telah meninggalkan segala kekayaan berupa emas, perak, dan
sebagainya yang dikumpulkan dengan menghabiskan masa mudanya tanpa merasa rugi.
Sehingga Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman mengenai dirinya:
وَمِنَ النَّاسِ مَن يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ
مَرْضَاتِ اللَّهِ ۗ وَاللَّهُ رَءُوفٌ بِالْعِبَادِ. (البقرة [٢]: ٢٠٧)
“Dan
di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan
Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.” (Q.S. Al-Baqarah [2]: 207)
Maka ketika
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam melihat dia sampai di Madinah beliau menyambutnya
dengan bersabda:
رَبِحَ الْبَيْعُ أَبَا يَحْيَى، رَبِحَ
الْبَيْعُ أَبَا يَحْيَى
“Beruntung perdaganganmu, hai Abu Yahya, beruntung perdaganganmu, hai Abu
Yahya.”
3.
Konsistensi Terhadap Al-Qur’an
Para Shahabat adalah
orang-orang yang sangat senang dan konsisten membaca Al-Qur’an, setelah
membacanya mereka berusaha mengamalkannya. Abdurrahman As-Sulami berkata, “Para
Shahabat tidak menambahnya (belajar Al-Qur’an) sampai memahami dan
mengamalkannya.”
Abu Thalhah orang
yang sangat tua dan telah lemah, suatu ketika membaca Al-Qur’an dan saat sampai
pada:
انفِرُوا خِفَافًا
وَثِقَالًا وَجَاهِدُوا بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنفُسِكُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۚ
ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ. (التوبة [٩]: ٤١)
“Berangkatlah kalian baik dalam keadaan ringan maupun berat dan berjihadlah
dengan harta dan jiwamu di jalan Allah yang demikian itu lebih baik bagi kamu
jika kamu mengerti.” (Q.S. At-Taubah [9]: 41)
Lalu dia memanggil
anak-anak dan istrinya. Dia berkata kepada mereka, “Aku merasa Allah meminta
berjuang baik dalam kondisi muda maupun tua. Siapkan bekalku.” Anak-anaknya
berkata, “Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada ayah. Bukankah ayah telah
berjuang bersama Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam hingga beliau wafat.
Juga dengan Abu Bakar dan Umar. Sekarang biarkanlah kami berperang
menggantikanmu.” Dia menjawab, “Tidak, kalian mesti mempersiapkan untukku.”
Anak-anaknya tidak dapat mencegahnya. Oleh karena itu mereka mampu siapkan
bekalnya dan berperanglah dia mengikuti armada Islam di laut akhirnya meninggal
dalam pertempuran itu.
Abu Ayyub Al-Anshary
shahabat yang rumahnya pertama kali ditempati Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wasallam setelah beliau di Madinah adalah salah seorang yang mendengar sabda
beliau:
لَتَفْتَحُنَّ الْقَنْسْطَنْطَانِيَّةُ
فَخَيْرُ الْأَمِيْرِ أَمِيْرُهَا وَخَيْرُ الْجُيُوْسِ جُيُوْسُهَا. (رواه احمد)
“Kalian akan membebaskan Konstantinopel, maka sebaik-baik pemimpin adalah
pemimpinnya dan sebaik-baik pasukan adalah pasukannya.” (H.R. Ahmad)
Oleh karena itu dia
selalu mengikuti setiap peperangan agar dapat masuk dalam hadis yang dinubuwahkan
oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam. Maka ketika Yazid bin Mu’awiyah
mengumumkan untuk membebaskan kota Konstantinopel, walaupun umurnya telah
mencapai sekitar 80 tahun, dia bertolak dari Madinah menempuh perjalanan yang
sangat panjang dan melelahkan. Bulan demi bulan pembebasan itu belum terwujud.
Akhirnya kepenatan
menimpa shahabat yang sudah renta itu. Ketika menjelang wafat, Yazid menanyakan
permintaan terakhirnya, ia berkata, “Jika aku meninggal bawalah jasadku ke
tempat negeri musuh yang paling jauh kemudian kuburkanlah aku dan kembalilah.”
Yazid melaksanakan permintaannya tersebut.
Kira-kira enam abad
kemudian, di bawah komandan Muhammad Al-Fatih umat Islam berhasil membebaskan
Konstantinopel yang kemudian diubah menjadi Istambul (Islambul). Muhammad
Al-Fatih memerintahkan mencari kuburan Abu Ayyub Al-Anshari kemudian didirikan
masjid di dekat kuburan tersebut.
Konsistensi para
Shahabat dapat juga kita lihat bagaimana reaksi mereka terhadap firman Allah
Subhanahu Wa Ta’ala:
لَنْ تَنَالُوْا الْبِرَّ حَتَّىٰ تُنْفِقُوْا
مِمَّا تُحِبُّوْنَ ۚ وَمَا تُنْفِقُوْا مِنْ شَيْءٍ فَإِنَّ اللَّهَ بِهِ عَلِيْمٌ.
(ال عمران [٣]: ٩٢)
“Sekali-kali kalian tidak akan mencapai kebaikan, sebelum kamu mendermakan
sebagian dari hasil yang kamu sayangi. Dan apa juapun yang kamu dermakan itu
sesungguhnya Allah mengetahui.” (Q.S. Ali Imran [3]: 92)
Setelah ayat ini
turun, bukan main besar pengaruhnya kepada para Shahabat. Seorang Shahabat yang
juga bernama Abu Thalhah mempunyai kekayaan satu-satunya yang amat dibanggakan,
yaitu kebun bernama Bairuhaa’, tidak berapa jauh dari Masjid Madinah. Nabi
Shallallahu Alaihi Wasallam sering singgah ke kebun itu meminum airnya yang
sejuk. Nama Abu Thalhah amat terkenal karena kebunnya yang subur itu. Tetapi
setelah ayat itu turun, masuklah pengaruhnya ke dalam hati Abu Thalhah. Dia
terus menemui Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dan berkata, “Aku akan mengamalkan
wahyu Allah itu, ya Rasulullah. Kekayaan yang paling aku cintai, sehingga tidak
ada yang lain lagi adalah Bairuhaa’. Terimalah dia sebagai sedekahku, ya
Rasulullah dan aku kuasakan kepada anda untuk menyerahkannya kepada siapa yang
patut menerimanya. Lalu beliau menguasakan kepada Abu Thalhah sendiri untuk
membagikannya kepada keluarga dekatnya. Menurut riwayat Muslim, harta itu
diberikannya kepada Zaid bin Tsabit dan Ubay bin Ka’ab.
Dalam rangka
mengamalkan ayat ini pula Zaid bin Haritsah, bekas anak angkat Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wasallam membawa kudanya yang sangat dicintai yang bernama Subul
kepada Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dan berkata, “Aku ingin
mengamalkan ayat itu, ya Rasulullah. Inilah kudaku, sebagaimana yang engkau
tahu, adalah yang paling aku cintai. Terimalah dia sebagai sedekahku dan
berikanlah kepada yang patut menerimanya.” Maka Rasulullah Shallallahu Alaihi
Wasallam menerimanya dan menyerahkannya kepada Usamah bin Zaid, putra Zaid
sendiri.
Abu Hasan Al-Anthaki
bercerita, pada suatu hari berkumpul lebih 30 orang ulama di suatu desa dekat
negeri Raiy (Teheran sekarang). Hari telah malam, semuanya lapar, sedang roti
hanya beberapa potong saja, tidak cukup untuk makan orang lebih dari 30 orang.
Maka ada di antara mereka mengambil roti yang sedikit itu dan memecahnya lalu
meletakkan di tengah-tengah, sedang lampu mereka padamkan. Setelah lampu padam
kedengaran ada yang pergi mengambil roti itu berganti-ganti, mengecap-ngecap
mulut seperti orang makan lalu terus pergi tidur dan mengatakan kepada yang
belum makan, bahwa makanan masih banyak. Setelah siang kelihatanlah bahwa roti
masih utuh. Tidak seorangpun yang makan, hanya pura-pura makan karena semua
memikirkan temannya, agar temannya makan walau dia sendiri lapar. Inilah
realisasi dari firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala:
وَالَّذِينَ
تَبَوَّءُوا الدَّارَ وَالْإِيمَانَ مِن قَبْلِهِمْ يُحِبُّونَ مَنْ هَاجَرَ
إِلَيْهِمْ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمْ حَاجَةً مِّمَّا أُوتُوا
وَيُؤْثِرُونَ عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ ۚ وَمَن يُوقَ
شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ. (الحشر [٥٩]: ٩)
“Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah
beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka (Anshor)
'mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin). Dan mereka (Anshor)
tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan
kepada mereka (Muhajirin); dan am kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari
kekikiran dirinya, mereka itulah orang orang yang beruntung.” (Q.S. Al-Hasyr [59]: 9)
Secara tekstual ayat
ini menggambarkan kelebihan dan pujian Allah Subhanahu Wa Ta’ala kepada orang
Anshar:
Pertama, mereka telah menunggu orang
Muhajirin di kota tempat mereka dengan tetap dalam iman.
Kedua, mereka mencintai
saudara-saudara mereka yang datang menumpang.
Ketiga, mereka tidak merasa keberatan
jika orang Muhajirin mendapat bagian lebih banyak.
Keempat, mereka lebih mengutamakan orang
Muhajirin dari pada diri mereka sendiri walaupun mereka sendiri dalam
kesusahan.
Kelima, mereka sanggup mengatasi sifat
kikir sehingga mereka mendapat kemenangan.
Semoga kita mampu
meniru mereka. Wallahu A’lam bis Shawwab
Kamis, 17 September 2015
AQSA WORKING GROUP BERBAGI QURBAN UNTUK PALESTINA
Posted by Unknown | 00.29 Categories: AQSA WORKING GROUP BERBAGI QURBAN UNTUK PALESTINARabu, 16 September 2015
MAKLUMAT
GHAZWAH FATH AL-AQSHA
بــــســـم الله الرحـمـن الرحـيـم
Dengan mohon pertolongan dan Ridla
Allah Subhanahu wa ta'ala dengan ini kami Ghazwah Fath Al-Aqsha memaklumkan
kepada umat manusia hal-hal sebagai berikut :
1.
Hai
seluruh manusia ketahuilah, sesungguhnya Masjidil Aqsha sesuai dengan ayat-ayat
Allah di dalam surat At-Taubah : 17-18,
Al-Isra : 1-7, An-Nuur : 55, Al-Fath : 1-4, An-Nashr : 1-3 dan lain-lain
dalil-dalil yang qath'i adalah hak muslimin untuk menjaga, memelihara, dan
mempertahankannya (Al-Anfaal : 60, Al-Fath : 4)
2.
Mengingat
sampai saat ini Masjidil Aqsha masih berada diluar penguasaan muslimin, maka
pada kaum Zionis Israil dan kelompoknya kami peringatkan agar segera
meninggalkan Masjidil Aqsha dan menyerahkannya ke tangan Muslimin.
3.
Kepada
kaum muslimin di manapun berada di seluruh dunia, dengan mohon pertolongan
Allah Subhanahu wa ta'ala, agar segera bersatu padu mempersiapkan segala dana
dan kemampuan (fund dan forces) untuk menerima kembali Masjidil Aqsha dari
tangan Zionis Israel.
4.
Kepada
semua kekuatan, naik perorangan maupun Negara, langsung atau tidak langsung
atau tidak langsung yang menolak kembalinya hak muslimin itu, kami peringatkan:
a.
Bahwa kami
tidak akan memerangi anda.
b.
Kami tidak
akan melakukan perbuatan tindakan kekerasan, pembunuhan terhadap wanita,
anak-anak, orang tua, pendeta, pastur maupun pemuka-pemuka agama lainnya.
c.
Kami tidak
akan melakukan pengrusakan terhadap rumah-rumah ibadah, pohon-pohon yang sedang
berbuah dan sebagainya.
d.
Kami tidak
akan melakukan perampasan atas harta-harta mereka.
e.
Namun
apabila kami dihinakan, maka kami akan membela diri dengan segenap kekuatan
muslimin dimanapun mereka berada sampai kami menang atau syahid.
Demikianlah,
dengan mohon perlindungan dan ridha Allah Subhanahu wa ta'ala maklumat ini dikeluarkan oleh Imaamul
Muslimin di Bogor - Jawa Barat Indonesia pada tanggal 24 Sya'ban 1427 H./17
September 2006 M.
Iyyaaka
na'budu wa iyyaaka nasta'iin, laa haula wa laa quwwata illaa billah.
RELEVANSI HAJI DAN KURBAN DENGAN KESATUAN UMAT
Posted by Unknown | 23.19 Categories: Haji, KH. Yakhsyallah Mansur, Kurban
بسم الله الرحمن
الرحيم
RELEVANSI HAJI DAN KURBAN
DENGAN KESATUAN UMAT
Oleh:
Drs. Yakhsyallah Mansur, MA.
بسم
الله الرحمن الرحيم
اَلْحَمْدُ لِلّهِ نَحْمَدُهُ
وَ نَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ
بِاللهِ مِنْ شُرُورِ اَنْفُسِنَا وَسَيِّأَتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِ اللهِ فَلاَ
مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْهُ فَلاَ هَادِيَ لَهُ. أَشْهَدُ اَنْ لاَ اِلهَ اِلاَّ
اللهِ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدً عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.
اَللّهُمَ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى الِهِ وَ اَصْحَابِهِ وَمَنْ وَلاَهُ وَ
مَنِ اتَّبَعَهُ. أَمَّا بَعْدُ
MUQADDIMAH
Ibadah haji dan kurban
adalah berasal dari Bapak Monotheisme, Nabi Ibrahim 'Alaihi Salam, sosok
pribadi yang memiliki perjalanan hidup yang penuh teladan bagi manusia yang
ingin menghambakan diri secara penuh kepada Allah Subhanahu Wa Ta'ala,
sebagaimana ditegaskan oleh Allah dalam firman-Nya:
قَدْ كَانَتْ لَكُمْ
أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ فِي إِبْرَاهِيمَ وَالَّذِينَ مَعَهُ إِذْ قَالُوا لِقَوْمِهِمْ
إِنَّا بُرَآءُ مِنْكُمْ وَمِمَّا تَعْبُدُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ كَفَرْنَا
بِكُمْ وَبَدَا بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةُ وَالْبَغْضَاءُ أَبَدًا
حَتَّى تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَحْدَهُ إِلَّا قَوْلَ إِبْرَاهِيمَ لِأَبِيهِ
لَأَسْتَغْفِرَنَّ لَكَ وَمَا أَمْلِكُ لَكَ مِنَ اللَّهِ مِنْ شَيْءٍ رَبَّنَا عَلَيْكَ
تَوَكَّلْنَا وَإِلَيْكَ أَنَبْنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ (الممتحنة: ٤)
"Sesungguhnya telah ada suri tauladan
yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika
mereka berkata kepada kaum mereka: "Sesungguhnya kami berlepas diri dari
kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran) mu
dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat
selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja. Kecuali perkataan Ibrahim
kepada bapaknya: "Sesungguhnya aku akan memohonkan ampunan bagi kamu dan
aku tiada dapat menolak sesuatupun dari kamu (siksaan) Allah". (Ibrahim
berkata): "Ya Tuhan kami, hanya kepada Engkaulah kami bertawakkal dan
hanya kepada Engkaulah kami bertaubat dan hanya kepada Engkaulah kami kembali,
"
(QS. Al-Mumtahanah: 4)
Nabi Ibrahim 'Alaihi Salam
adalah manusia yang menemukan Tuhan dalam arti yang sebenarnya, yaitu Tuhan
yang satu, yang bersifat universal bukan sekedar Tuhan suku atau golongan
manusia tertentu tetapi Tuhan seru sekalian alam, Tuhan sebelum dan sesudah
manusia tercipta di alam raya ini. Inilah yang kemudian dikenal dengan prinsip
keyakinan tauhid yaitu keyakinan akan keesaan Allah Subhanahu Wa
Ta'ala. Karena Tuhan mereka satu maka sebetulnya mereka adalah umat yang satu
yang tidak dapat dipecah-belah oleh situasi dan kondisi apapun.
Praktek-praktek ibadah
haji dan kurban pada hakekatnya merupakan penegasan prinsip tauhid
yang dianut dan diajarkan oleh Nabi Ibrahim 'Alaihi Salam tersebut. Oleh karena
itu, ibadah haji dan kurban akan hilang essensinya apabila tidak dikaitkan dengan
prinsip Tauhid yang melahirkan kesatuan umat.
HAJI DAN KESATUAN UMAT
Islam adalah agama yang
sangat menekankan kesatuan. Al-Qur'an dengan jelas menyatakan bahwa kaum
muslimin adalah satu umat bukan bermacam-macam umat (al-umam). Ketika menyebut
umat Islam, Alah selalu menggunakan kalimat tunggal (mufrad) bukan kalimat yang
bermakna banyak (jamak). Hal ini tampak dari beberapa ayat di bawah ini:
وَكَذَلِكَ
جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ
الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا (البقرة: ١٤۳)
"Dan demikian (pula) Kami telah
menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi
saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas
(perbuatan) kamu…." (QS. Al-Baqarah: 143)
كُنْتُمْ خَيْرَ
أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ
الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ (ال عمران: ١١۰)
"Kamu adalah umat yang terbaik yang
dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang
munkar, dan beriman kepada Allah. ..." (QS. Ali 'Imran: 110)
إِنَّ هَذِهِ
أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاعْبُدُونِ (الأنبياء: ۹٢)
"Sesungguhnya (agama tauhid) ini
adalah agama kamu semua; agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah
Aku." (QS. Al-Anbiyaa': 92)
وَإِنَّ هَذِهِ
أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاتَّقُونِ (المؤمنون: ٥٢)
"Sesungguhnya (agama tauhid) ini,
adalah agama kamu semua, agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka
bertakwalah kepada-Ku." (QS. Al-Mu'minun: 52)
Dalam ayat yang lain,
Allah Subhanahu Wa Ta'ala dengan tegas memerintahkan agar umat Islam memelihara
kesatuan dan melarang berpecah-belah:
وَاعْتَصِمُوا
بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ
عَلَيْكُمْ إِذْ كُنْتُمْ أَعْدَاءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُمْ
بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا وَكُنْتُمْ عَلَى شَفَا حُفْرَةٍ مِنَ النَّارِ
فَأَنْقَذَكُمْ مِنْهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ ءَايَاتِهِ لَعَلَّكُمْ
تَهْتَدُونَ (ال عمران: ١۰۳)
"Dan berpeganglah kamu semuanya kepada
tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni`mat
Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh musuhan, maka Allah
mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni`mat Allah orang-orang yang
bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah
menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk." (QS. Ali 'Imran: 103)
Ketika menafsirkan ayat
ini, Ibn Katsir menukilkan hadits riwayat Muslim:
اَنَّ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ يَرْضَى لَكُمْ
ثَلَاثًا وَيَسْخَطُ لَكُمْ ثَلَاثًا فَيَرْضَى لَكُمْ أَنْ تَعْبُدُوهُ وَلَا
تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَأَنْ تَعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيعًا وَلَا
تَفَرَّقُوا وَيَسْخَطُ لَكُمْ قِيلَ وَقَالَ وَإِضَاعَةِ الْمَالِ وَكَثْرَةَ
السُّؤَالِ (رواه مسلم)
“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi Wasallam bersabda: “Sungguh Allah ridla kepada kalian tiga perkara dan
benci kepada kalian tiga perkara. Ridla kepada kalian apabila kalian
memperibadatinya dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu, berpegang teguh
kepada tali Allah seraya berjama’ah dan tidak berpecah-belah, kalian menasehati
orang yang diserahi oleh Allah untuk mengurus urusan kalian. Dia benci kepada
kalian tiga perkara: berbicara tanpa dasar, menghambur-hamburkan harta, dan
banyak bertanya.” (HR. Muslim)
Selanjutnya Ibn Katsir
menyatakan bahwa ayat ini memerintahkan umat Islam berjama’ah (bersatu dan
bersama-sama) dan melarang mereka berfirqah-firqah (berpecah-belah)
Sejatinya umat Islam
adalah umat yang satu, mengingat Rabb mereka satu; Rasul yang diutus kepada
mereka satu; Kiblat mereka satu; Pedoman hidup mereka satu; Syiar-syiar agama
mereka satu; syariat mereka satu; dan Imam mereka satu.
Ibadah haji dikumandangkan
Nabi Ibrahim ‘Alaihi Salam sekitar 3600 tahun yang lalu. Sesudah masa beliau,
praktek-prakteknya sedikit atau banyak telah mengalami perubahan, kemudian diluruskan kembali
oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Salah satu yang diluruskan itu
adalah praktek ritual yang bertentangan dengan nilai kesatuan dan kebersamaan.
Al-Qur’an menegur sekelompok manusia yang dikenal dengan nama “al-hummas” yang
merasa memiliki keistimewaan sehingga enggan bersatu dengan orang banyak dalam
melakukan wuquf. Mereka wuquf di Mudzalifah sedang orang banyak di Arafah. Pemisahan
diri yang dilatarbelakangi oleh perasaan superior dicegah oleh al-Qur'an dan
turunlah firman Allah:
ثُمَّ أَفِيضُوا مِنْ
حَيْثُ أَفَاضَ النَّاسُ وَاسْتَغْفِرُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (البقرة:
١۹۹)
"Kemudian bertolaklah kamu dari tempat
bertolaknya orang-orang banyak (`Arafah) dan mohonlah ampun kepada Allah;
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Baqarah: 199)
Seluruh syariat yang
dipraktekkan dalam pelaksanaan ibadah haji, baik dalam bentuk ritual atau non ritualnya,
dalam bentuk kewajiban atau larangannya dan dalam bentuk nyata atau
simboliknya, semua akhirnya bermuara kepada ajaran tentang pentingnya kesatuan
dan kebersamaan.
Di bawah ini dikemukakan sepintas
beberapa praktek amaliah haji dan hubungannya dengan ajaran tersebut:
1.
Ihram
Ibadah haji dimulai dengan
niat sambil menanggalkan pakaian biasa dan mengenakan pakaian ihram yang sama,
berupa dua helai pakaian berwarna putih sebagaimana yang akan membalut tubuh
ketika mengakhiri perjalanan hidup di dunia ini saat meninggal dunia.
Tidak dapat disangkal
bahwa pakaian menurut kenyataannya berfungsi antara lain untuk membedakan
antara seseorang atau kelompok dengan lainnya. Perbedaan itu dapat membawa
perbedaan status sosial, ekonomi, atau profesi. Pakaian juga dapat memberi
pengaruh psikologis kepada pemakainya. Untuk itulah, jamaah haji diperintahkan
menanggalkan pakaian keseharian mereka dan menggantinya dengan pakaian yang
sama agar pengaruh psikologis yang negatif dari pakaian dapat ditanggalkan
sehingga semua merasakan dalam satu kesatuan dan persamaan.
2.
Thawaf
Ka'bah yang mereka
kunjungi mengandung pelajaran yang amat berharga bagi terwujudnya kesatuan dan
kebersamaan. Dari berbagai penjuru, para hujjaj datang mengunjungi satu titik
yang sama dan melakukan bentuk peribadatan berupa thawaf dengan aktifitas yang
sama. Hal ini mengingatkan agar setiap muslim memiliki tujuan hidup yang sama
dan dalam setiap melakukan aktifitas selalu mengedepankan persamaan dan
menghindarkan perbedaan. Di Ka’bah ini Isma’il putra Ibrahim ‘Alaihi Salam
berada dalam pangkuan ibunya yang bernama Hajar, seorang wanita hitam, miskin
bahkan budak, yang konon kuburannya berada di dekat Ka’bah di tempat yang
sekarang disebut Hijr Isma’il. Namun demikian, budak wanita ini ditempatkan
oleh Allah di rumah-Nya untuk memberi pelajaran bahwa Allah Subhanahu Wa Ta’ala
memandang manusia itu sama. Yang membedakan mereka di sisi Allah hanya
taqwanya. Apabila Allah tidak membedakan status manusia, mengapa kita harus
membedakan mereka? Disini sekali lagi kita mendapatkan pelajaran tentang
persamaan diantara manusia.
3.
Sa’i
Setelah melakukan thawaf
yang menjadikan pelakunya larut dan berbaur bersama manusia yang lain, serta
memberi nuansa kebersamaan, para hujjaj menuju satu tujuan yang sama yakni
mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah, dilakukanlah sa’i.
Sa’i,
yang arti harfiahnya usaha, dimulai dari bukit Shafa yang berarti kesucian
dan ketegaran dan diakhiri di Marwa yang berarti ideal manusia, sikap
menghargai, bermurah hati, dan memaafkan orang lain. Inilah nilai-nilai
kehidupan yang apabila diterapkan akan mewujudkan kesatuan dan kebersamaan.
Dalam realitas pergaulan manusia, kita memang dituntut berusaha sesuai dengan
profesi kita masing-masing. Agar usaha kita tidak menimbulkan persaingan yang
berdampak kepada perpecahan, maka usaha yang kita lakukan harus sesuai dengan
tuntunan Allah dan dimulai dengan niat yang suci serta dilandasi dengan prinsip
saling menghargai diantara manusia.
4.
Wukuf
Di Arafah, padang yang
luas lagi gersang itu, seluruh jamaah haji wuquf (berhenti) sampai terbenamnya
matahari. Disinilah seharusnya setiap pribadi menemukan ma’rifah (pengetahuan)
tentang jatidirinya bahwa mereka masing-masing adalah bagian dari satu umat
yang tidak dapat dipisahkan dalam segala situasi dan kondisi bahkan dalam saat
yang paling menderita sekalipun seperti kondisi di padang Mahsyar.
Arafah
adalah miniatur padang Mahsyar, terminal akhir perjalanan manusia sebelum
ditentukan nasibnya, apakah dia akan ke surga atau ke neraka. Disinilah manusia
akan diadili oleh Allah dengan seadil-adilnya. Oleh karena itu, apabila terjadi
perselisihan, janganlah merasa diri paling benar selama yang diperselisihkan
bukan hal-hal yang qath’i yang sudah dipastikan kebenarannya oleh Allah dan
Rasul-Nya. Di Arafah ini hendaknya manusia menyadari pula bahwa apapun
perbedaan yang terjadi diantara mereka akhirnya mereka akan bersatu kembali di
padang Mahsyar di bawah keagungan Allah Subhanahu Wa Ta’ala, satu-satunya Dzat
yang mampu menyatukan segala perbedaan. Kesadaran inilah yang akan mengantarkan
manusia menjadi arif (memahami) diri sendiri dan orang lain.
Menurut
Ibn Sina, apabila kearifan telah menghiasi diri seseorang, maka dia akan
“Selalu gembira, banyak senyum karena hatinya telah gembira sejak ia mengenal
Allah Subhanhu Wa Ta’ala. Dimana-mana ia melihat satu saja, melihat Allah yang
Mahasuci. Semua makhluk dipandangnya sama. Ia tidak mengintip-ngintip atau
mencari-cari kesalahan orang. Ia tidak akan cepat tersinggung walau melihat
yang mungkar sekalipun (namun bukan berarti tidak memiliki kepekaan terhadap
lingkungan). Karena jiwanya telah diliputi oleh rahmat dan kasih sayang.”
Di
Arafah inilah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam menyampaikan khutbah pada
Haji Wada’ yang intinya menekankan:
-
Persamaan diantara manusia
-
Keharusan memelihara jiwa, harta dan
kehormatan orang lain
-
Larangan melakukan penindasan atau
pemerasan terhadap kaum lemah baik di bidang ekonomi, maupun bidang-bidang
lain.
5.
Melontar Jumrah
Dari Arafah, para jamaah
haji menuju Mudzalifah untuk mengumpulkan batu di malam hari dalam rangka
melempar jumrah di Mina. Mereka melemparkan batu pada titik yang sama secara
bersama-sama pada waktu yang sama dengan cara yang sama. Batu dikumpulkan di
tengah malam sebagai lambang bahwa musuh tidak boleh mengetahui siasat dan
senjata kita. Melempar batu pada titik yang sama secara bersama-sama pada waktu
yang sama dan dengan cara yang sama merupakan pengajaran bahwa umat Islam dalam
menghadapi musuh, mereka harus bekerja sama. Apabila mereka menghadapi musuh
sendiri-sendiri bahkan saling berselisih, jangan diharap mereka dapat menang.
KURBAN DAN KESATUAN UMAT
Nabi Ibrahim ‘Alaihi Salam
hadir di pentas kehidupan pada suatu masa persimpangan menyangkut tentang
pandangan manusia tentang boleh tidaknya manusia dikurbankan sebagai
persembahan kepada Tuhan. Satu pihak membolehkannya dan pihak lain tidak
membolehkan, karena manusia terlalu mulia untuk tujuan tersebut. Melalui Nabi
Ibrahim ‘Alaihi Salam secara amaliah dan tegas larangan itu dikukuhkan. Bukan
karena manusia terlalu tinggi nilainya sehingga tidak wajar dikurbankan, tetapi
karena Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Putranya Ismail yang semata
wayang dan sangat dikasihi diperintahkan Allah untuk dikurbankan, sebagai
pertanda bahwa apapun, apabila panggilan Allah datang, semuanya wajar
dikorbankan. Setelah perintah tersebut dilaksanakan dengan sepenuh hati oleh
ayah dan anak tersebut, Allah dengan kekuasaan-Nya menghalangi penyembelihan
tersebut dan menggantinya dengan domba sebagai pertanda bahwa hanya karena
kasih sayang Allah kepada manusia, praktek pengurbanan manusia itu tidak
diperkenankan.
Peristiwa dramatis yang
menjebol nurani kemanusiaan akan teladan agung tentang kurban ini, dikisahkan
dengan indah dalam rangkaian ayat-ayat berikut ini:
رَبِّ هَبْ لِي مِنَ
الصَّالِحِينَ(١۰۰)فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلَامٍ حَلِيمٍ(١۰١)فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ
السَّعْيَ قَالَ يَابُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ
فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَاأَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ
شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ(١۰٢)فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ(١۰۳)وَنَادَيْنَاهُ
أَنْ يَاإِبْرَاهِيمُ(١۰٤)قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي
الْمُحْسِنِينَ(١۰٥)إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ(١۰۶)وَفَدَيْنَاهُ
بِذِبْحٍ عَظِيمٍ(١۰۷)وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِي الْآخِرِينَ(١۰۸) سَلَامٌ
عَلَى إِبْرَاهِيمَ (١۰۹)كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ(١١۰)
"Ya Tuhanku, anugerahkanlah
kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh. Maka Kami beri
dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar. Maka tatkala anak itu
sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata:
"Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu.
Maka fikirkanlah apa pendapatmu!" Ia menjawab: "Hai bapakku, kerjakanlah
apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk
orang-orang yang sabar". Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim
membaringkan anaknya atas pelipis (nya), (nyatalah kesabaran keduanya). Dan
Kami panggillah dia: "Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan
mimpi itu", sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada
orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang
nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami
abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang
datang kemudian, (yaitu) "Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim".
Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.” (QS. Al-Shaffaat:
100-110)
Ketika Ibrahim ‘Alaihi
Salam akan melaksanakan perintah penyembelihan ini dan mata pisau siap menebas
leher Ismail, Allah memanggilnya, ‘Hai Ibrahim, engkau telah melaksanakan mimpi
itu.” Kemudian Ismail ditebus dengan domba yang besar.
Inilah asal mula ibadah
kurban yang dilestarikan oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan
umatnya sampai saat ini.
Ismail memang utuh. Yang
terbunuh oleh Nabi Ibrahim ‘Alaihi Salam adalah kecintaan kepada satu-satunya
anak yang dimiliki. Kecintaan kepada duniawi terpenggal oleh tajamnya
kepasrahan diri kepada Allah. Inilah teladan luhur yang mengajarkan pada
manusia untuk rela melepas apa yang sejatinya milik Allah.
Pengurbanan sesungguhnya
adalah fitrah manusia. Kehadiran manusia di dunia adalah pengurbanan yang luar
biasa besar. Bayi yang begitu lemah dan tidak mandiri meninggalkan rahim ibu
dengan segala fasilitasnya. Termasuk pula putus hubungan dengan placenta
satu-satunya pipa logistik yang memasok kebutuhan pangan untuknya. Padahal
taruhan lahir ke dunia sangat berat. Ibunya, ladang kehidupan selama dalam
kandungan dan di dunia nanti mungkin harus mati demi kelahirannya. Disini
tampak bahwa pengurbanan adalah sifat dasar manusia. Kelahirannya ke dunia
adalah pengurbanan antara dirinya dan ibunya. Oleh karena itu, Mahabenar Allah
yang mensyariatkan kurban kepada umat manusia.
Dalam ibadah kurban, hewan
adalah simbol duniawi. Makna di balik ibadah kurban adalah perintah Allah untuk
membuang jauh-jauh sifat egoisme, sikap mementingkan diri sendiri dan sikap
rakus kepada harta atau kedudukan. Sikap inilah yang menjadi penghambat
terwujudnya kesatuan. Oleh karena itu, sikap-sikap ini harus kita buang
jauh-jauh apabila kita menginginkan terwujudnya kesatuan umat Islam.
Kurban adalah fenomena
ibadah yang menolak segala bentuk kerakusan kepada dunia yang akan melanggar
hak orang lain terutama orang-orang yang lemah yang akan mengakibatkan
permusuhan diantara manusia. Oleh karena itu, kurban sebenarnya adalah wahana
pendidikan rohani yang meniscayakan pentingnya persaudaraan (ukhuwwah) diantara
manusia. Perintah kurban kepada orang kaya dan membagikan dagingnya untuk orang
miskin merupakan pelajaran penting bahwa Islam menganjurkan kepada umatnya agar
memperhatikan kepentingan orang lain, terutama orang-orang yang kekurangan.
Melalui syariat kurban, Allah berpesan bahwa manusia akan dapat bertaqarrub
(mendekatkan) diri kepada Allah dengan mendekati saudara-saudara kita yang
serba kekurangan.
Orang-orang yang memiliki
sikap seperti ini akan menjadi makhluk yang sangat dicintai oleh Allah
Subhanahu Wa Ta’ala. Sebaliknya, orang-orang yang selalu menjauhkan sesama
muslim bahkan membuat perpecahan diantara mereka akan menjadi orang yang paling
dibenci oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Sebagaimana sabda Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:
إِنَّ أَحَبَّكُمْ اِلَى
اللهِ اَلَّذِينَ يَأْلِفُونَ وَيُؤْلَفُونَ وَإِنَّ أَغْضَبَكُمْ اِلىَ اللهِ اَلْمَشَاءُونَ
بِالنَمِيمَةِ اَلْمُفَرِّقُوْنَ بَيْنَ الْإِخْوَان (رواه الطبرانى)
“Sesungguhnya yang paling dicintai oleh
Allah diantara kamu adalah orang yang mampu menyesuaikan diri dan diterima
penyesuaian dirinya. Sedangkan yang paling dimurkai oleh Allah diantara kamu
adalah orang yang berjalan untuk mengadu domba dan memecah-belah diantara
saudara.” (HR.
Al-Thabrani)
Apabila kita mampu
mengimplementasikan makna ibadah kurban secara lebih mendalam dalam kehidupan
sehari-hari maka kita menyadari bahwa kurban bukan sekedar membagi-bagikan
daging kepada orang-orang miskin tetapi kurban sebenarnya merupakan salah satu
sarana sangat penting untuk mewujudkan kesatuan dan kebersamaan diantara umat
Islam.
Dengan terwujudnya
kesatuan dan kebersamaan diantara umat Islam maka insya Allah, berbagai bencana
dan krisis yang datang silih berganti akhir-akhir ini akan teratasi. Mengingat
terjadinya berbagai bencana dan krisis tersebut antara lain adalah akibat umat
Islam tidak dapat menjaga persatuan dan kebersamaan sebagaimana firman Allah:
وَالَّذِينَ كَفَرُوا
بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ إِلَّا تَفْعَلُوهُ تَكُنْ فِتْنَةٌ فِي الْأَرْضِ
وَفَسَادٌ كَبِيرٌ (الانفال: ۷۳)
“Adapun orang-orang yang kafir, sebagian
mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin)
tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu, niscaya akan terjadi
kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar.“ (QS. Al-Anfaal: 73)
Menurut para
ahli tafsir, yang dimaksud dengan “apa yang diperintahkan Allah itu”
adalah keharusan adanya kesatuan dan kebersamaan diantara kaum muslimin.
Dalam rangka mewujudkan
kembali kesatuan umat yang porak-poranda setelah dihancurkannya kekhilafahan
Turki Utsmani oleh Mustafa Kemal al-Taturk, seorang Yahudi yang pura-pura masuk
Islam pada tahun 1924, maka ditetapi kembali Jama’ah Muslimin dalam bentuk
Jama’ah Muslimin (Hizbullah) pada 10 Dzulhijjah 1372/ 20 Agustus 1953 di bawah
Imam Syeikh Wali Al-Fattaah.
Setelah beliau
wafat, dibaiatlah pengganti-penggantinya untuk meneruskan keimamahan hingga
saat ini.
Wallahu a’lam bishawab.
Langganan:
Postingan (Atom)